JEPARA, Lingkarjateng.id – Panitia Khusus (Pansus) IV DPRD Jepara, menghimpun masukan dari berbagai elemen masyarakat Jepara di ruang rapat paripurna, Senin (6/6).
Public hearing yang dilangsungkan di ruang paripurna ini, dimaksudkan untuk menampung berbagai masukan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jepara Tahun 2022-2042.
Ketua Pansus IV, Agus Sutisna mengatakan, pembahasan raperda ini menjadi tugas pansusnya.
“Sejak dibentuk, kami melalui media membuka seluas-luasnya ruang untuk mendengar masukan publik. Public hearing pada hari ini, merupakan permintaan khusus kami kepada pimpinan dewan,” kata Agus Sutisna.
Public hearing ini dilakukan dalam masa perpanjangan pembahasan Raperda RTRW dari yang semula dijadwalkan Badan Musyawarah DPRD. Raperda ini awalnya disampaikan eksekutif kepada legislatif pada 21 Februari 2022, bersama dengan tiga raperda lain.
Saat itu, rapat paripurna DPRD membentuk 4 pansus untuk membahas keempat raperda. Ketika rapat paripurna pengambilan keputusan digelar pada Kamis (19/5) lalu, Pansus IV minta perpanjangan waktu pembahasan. Sedangkan tiga raperda lain ditetapkan menjadi perda.
“Dari waktu pembahasan maraton 10 hari yang diberikan itu, belum cukup. Ini sudah melewati bulan ketiga,” jelas Agus Sutisna.
Dalam kesempatan itu, Perwakilan Kamar Dagang Industri (Kadin) Jepara, Pramono mengingatkan tentang sejarah Jepara yang berjaya di bidang ekonomi dengan menguasai jalur perdagangan laut hingga surplus beras.
Ketua DPRD Jepara Minta Pemda Gerak Cepat Antisipasi Hepatitis Akut
Namun kini, kondisi alam termasuk di perairan Karimunjawa telah rusak. Dirinya juga menambahkan, perkembangan sektor industri yang limbahnya berdampak pada berkurangnya kualitas pengairan sehingga mengurangi hasil panen.
“Dengan lahir perda ini, saya berharap ingin memastikan adanya pengolah limbah khusus kategori Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) di wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan industri,” kata Pramono.
Sementara itu, Tri Hutomo dari Kawali Jepara mengingatkan, penetapan Karimunjawa sebagai kawasan strategis wisata nasional, namun terdapat banyak tambak udang ilegal.
“Dari 20 tambak udang, hanya 1 yang punya izin. Ketiadaan izin menjadikan tidak adanya instalasi pengolah limbah. Ini berdampak pada lingkungan hidup, termasuk kerusakan terumbu karang yang akhirnya berpengaruh pada hasil tangkap nelayan, tanpa pengolah limbah,” kata Tri Hutomo.
Dengan kondisi itu, bantuan alat tangkap sebesar Rp 1,8 miliar untuk nelayan, tidak sinkron dengan fakta kawasan tangkap yang semakin berkurang karena tidak terlindungi.
“Ini harus diperhatikan dalam tata ruang,” ungkapnya.
Kemudian, Didin Ardiansyah dari Kecamatan Kembang mengusulkan, agar rencana menempatkan Kembang sebagai pelabuhan Jepara, benar-benar tertuang dalam Perda RTRW. Kontur perairan di Kembang dirinya menyebut sesuai untuk kebutuhan itu. Dirinya mengingatkan sejarah Jepara yang pernah jadi jalur perdagangan utama dunia.
“Pada masanya, Ratu Kalinyamat pernah menggagas pakta pertahanan kawasan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Kita ingin ingatkan, Malaka itu, kita lah yang membantu membebaskan dari Portugis,” katanya.
Sedangkan, Didit Endro dari Celcius menyayangkan tidak adanya Undang-Undang Lingkungan Hidup dalam konsideran raperda ini.
Ketua DPRD Jepara Minta Perketat Awasi Pemuda dari Miras dan Narkotika
“Padahal berbicara industri sebagaimana pembahasan terbanyak pada raperda ini, adalah berarti berbicara tentang pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup,” ujarnya.
Dirinya juga berpesan, agar gagasan pemerataan kawasan industri jangan pragmatis.
“Karena itu juga seperti memeratakan dampak lingkungan, dampak sosial, penyakit, dan sebagainya. Selama perkembangan industri tidak dilengkapi konsep pengelolaan hidup yang baik, pemanfaatan sumber daya alam harus dengan memperhatikan nilai-nilai kelestarian,” pesan Didit. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)