PATI, Lingkarjateng.id – Surat peringatan (SP) ketiga telah dilayangkan petugas Satpol PP Pati kepada para pemilik warung ilegal di Jalan Raya Pati-Kudus turut Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati. Hingga 11 Juni 2023 mendatang para pemilik warung ilegal masih diberi kesempatan untuk membongkar bangunan tak berizin secara mandiri.
Kebijakan tersebut terpaksa dilakukan mengingat pada peringatan pertama dan kedua tak diindahkan para pemilik warung. Namun, jika hingga batas akhir itu pemilik usaha tidak patuh maka akan dibongkar petugas dan aparat hukum.
Sementara itu, Siti, salah satu pemilik warung yang masih bertahan hingga kini mengaku jika sebelumnya memang menyewa lokasi dan bangunan untuk membuka warung.
“Jadi saya menjalankan usaha ini, telah menyewa sebelumnya dari penyedia jasa lah, warga sini (Margorejo),” tuturnya ketika ditemui pada Selasa, 6 Juni 2023.
Disinyalir Jadi Tempat Prostitusi, 27 Warung di Margorejo Pati akan Dibongkar
Siti yang berasal dari Purwodadi, Kabupaten Grobogan menyebutkan jika dirinya sempat bekerja di Kampung Baru sebelum akhirnya membuka usaha di pinggir Jalan Pati-Kudus. Akan tetapi belum genap sebulan, dia harus membongkar warung yang ditempatinya dan berencana pulang kampung.
“Karena mau dibongkar. Selanjutnya, ya, mau kukut (tutup) warung, balik ke rumah lagi,” sambungnya.
Disinggung soal adanya bilik kamar yang dicurigai sebagai tempat praktik prostitusi, Siti menuturkan bahwa dari awal sewa warung, fasilitas tersebut sudah tersedia dari penyedia jasa.
“Kami nyewa dari Heru orang Margorejo. Nyewa Rp 2 juta ini sebulan, saat ini hasilnya belum nutup modal,” ujarnya.
SP 2 Dilayangkan, 26 Warung Ilegal di Margorejo Pati Terancam Dibongkar
Pelaku usaha lain asal Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati yang tidak mau disebutkan namanya merasa terbebani dengan pembongkaran warung. Menurutnya, petugas berwenang seharusnya juga memberikan solusi lantaran usaha yang dijalankan tidak gratis. Ia telah membayar jasa sewa.
“Sebelumnya kami sudah ngerti kalau mau ada pembongkaran. Maunya ada ganti rugi karena ini menyewa Rp 10 juta setahun. Kerja di sini sudah sekitar empat tahun,” terangnya.
Kendati begitu, pihaknya mengaku pasrah atas kebijakan pembongkaran warung mengingat lahan yang ditempati bukan hak miliknya.
“Mau gimana lagi, kita akan balik ke kampung. Paling nanti akan membuka usaha di sana, jualan mie ayam,” pungkasnya. (Lingkar Network | Khairul Mishbah – Koran Lingkar)