PATI, Lingkarjateng.id – Aktivitas penambangan ilegal membutuhkan penindakan tegas, sebab aktivitas tambang tanpa izin tidak hanya merusak tetapi juga mengganggu masyarakat sekitar.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati pun meminta agar Pemerintah Kabupaten Pati menindak tegas penambangan ilegal, seperti yang ada di Kecamatan Sukolilo.
Bambang Susilo, selaku Wakil Ketua DPRD Pati, menyampaikan bahwa pihaknya tidak ingin masyarakat merasakan dampak negatif penambangan liar, seperti longsor yang terjadi pada Rabu, 2 April 2025. Longsor di area penambangan itu berdampak pada lahan pertanian warga.
“Pemerintah harus tegas dalam menindak tambang-tambang ilegal. Sehingga tidak terdampak terhadap lingkungan maupun masyarakat sekitar atau petani-petani di sekitar lokasi pertambangan,” tuturnya, Rabu, 16 April 2025.
Pemkab Pati Tanggapi Dugaan Oknum Perangkat Desa Intimidasi Pendemo Tambang di Sukolilo
Bambang menegaskan Pemkab Pati harus berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah sebagai pihak yang berwenang mengurusi izin tambang.
“Karena izin tambang bukan kewenangan pemkab. Oleh karena itu, untuk melindungi semua kepentingan, tidak hanya satu kelompoknya saja tetapi harus berkoordinasi dengan pemprov,” jelasnya.
Sebelumnya, puluhan warga yang tergabung dalam jaringan Sukolilo Bangkit menggelar doa bersama dan “Keliling Kolilo” untuk mendorong penutupan tambang di beberapa titik desa seperti Gadudero, Kedungwungu, Baleadi, dan Wegil, Senin, 14 April 2025.
Aksi tersebut dilakukan mengingat semakin menjamurnya izin tambang galian c di wilayah Sukolilo. Bahkan beberapa diantara beroperasi secara ilegal tanpa mengantongi ijin.
Berbagai dampak negatif telah dirasakan warga, seperti jalan rusak akibat aktifitas truk tambang, suara bising siang-malam, debu, banjir yang kerap terjadi, lalu tanah longsor di sekitar wilayah tambang.
“Bahkan tidak sedikit juga pegawai tambang yang meninggal terkubur tambang akibat longsor. Belum lagi, lahan-lahan bekas tambang yang dibiarkan menganga besar tanpa aktifitas pasca tambang,” ujar Slamet Riyanto selaku koordinator aksi.
Dalam aksi tersebut, Slamet menyoroti Revisi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Pati yang disahkan pada tahun 2021. Dimana, perda tersebut bukannya membahas tentang pencegahan rangkaian bencana yang masif terjadi di Pati namun justru menetapkan seluruh kecamatan di Pati sebagai kawasan pertambangan.
“Padahal jika kita melihat lebih rinci dalam dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) Pati, Sukolilo merupakan wilayah dengan multi bencana yang ketika makin di eksploitasi maka lingkungan tidak mampu untuk menahannya. Begitupun dengan KLHS Pegunungan Kendeng yang seharusnya sebagai pijakan dalam penyusunan kebijakan, rencana, dan program daerah telah memprediksi ketika gunung kapur ini di eksploitasi maka akan terjadi bencana,” jelas dia.
Menurutnya, Pemkab Pati harus memberi perhatian lebih agar Pegunungan Kendeng tidak hanya dipandang sebagai lahan eksploitatif. Gunung purba Kendeng, merupakan ruang hidup dan kebudayaan warga dengan berbagai fungsi seperti penyerap dan sumber mata air, fungsi sosial budaya, dan fungsi penyerap karbondioksida.
“Terbukti dengan kehidupan sehari-hari yang tidak lepas dari pengaruh Kendeng seperti tercukupinya kebutuhan hidup masyarakat Sukolilo untuk kehidupan rumah tangga bahkan juga untuk pemenuhan kebutuhan produktif warga semisal pertanian, perkebunan dan lainnya,” ungkapnya.
Dia berharap, Pemkab Pati sadar bahwa pengawasan lingkungan tidak hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat saja. Tetapi juga di tingkat daerah sebagai wilayah terdampak memiliki peran penting dalam upaya perlindungan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. “Sukolilo Bangkit mendorong para pemilik tambang untuk sadar dan menghentikan aktifitasnya termasuk kepada pemerintah untuk tegas melakukan pengawasan dan moratorium izin pertambangan di seluruh Pegunungan Kendeng,” tandas dia. (Lingkar Network | Setyo Nugroho – Lingkarjateng.id)