JEPARA, Lingkarjateng.id – Pemerintah Kabupaten Jepara masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengembalikan anak tidak sekolah (ATS) ke bangku pendidikan. Jumlah ATS di Jepara belum mengalami penurunan yang signifikan, tercatat pada 2022 terdapat 5.230, lalu per April 2024 masih ada 1.023 ATS yang membutuhkan atensi.
“Meskipun penurunan cukup besar, tetapi masih cukup banyak. Kalau bisa mungkin bisa berkurang lagi untuk menekan angka anak tidak sekolah ini,” kata Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan, Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia Kabupaten Jepara, Rini Patmini, yang mewakili Penjabat Bupati Jepara.
Rini mengungkapkan bahwa salah satu penyumbang angka ATS di Jepara adalah dari anak berkebutuhan khusus (ABK). Para orang tua yang memiliki ABK malu sehingga enggan menyekolahkan anaknya atau kurangnya layanan yang diberikan. Disamping itu, di Jepara baru ada enam sekolah inklusi dari ratusan sekolah yang ada.
Pihaknya juga menyinggung soal sarana dan prasarana di sekolah negeri yang terbatas, sehingga banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta walaupun biayanya lebih banyak.
“Mungkin prinsipnya anak tidak akan berulang lagi masanya, sehingga orang tua berkeinginan mendapatkan pendidikan yang baik,” ungkapnya.
Sementara itu perwakilan Dewan Pendidikan Jepara (DPJ), Khomsanah, menyampaikan jumlah angka penurunan ATS yang di sampaikan menurutnya berbeda dengan kondisi yang ada di lapangan. Menurutnya masih banyak anak-anak yang tidak sekolah belum terdata.
“Oleh sebab itu, pentingnya ada pendataan melalui RT/RW kemudian sekolah asal terkait,” terangnya.
Kemudian pihaknya juga menyinggung bahwa anak yang tidak sekolah terlibat dalam Tindakan kekerasan, sehingga memerlukan atensi khusus.
“Anak-anak seperti ini perlu diberikan perhatian, terutama di bidang pendidikan,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Jepara, Ali Hidayat, untuk mencegah tindak kekerasan yang mungkin terjadi di lingkungan pendidikan pihaknya menerapkan 5 anti, yakni anti intoleransi, anti kekerasan atau perundingan, anti pelecehan seksual dan pernikahan dini, anti KKN dan pungli, anti NAPZA.
“Kalau itu sudah dijalankan di anak-anak kita atau didikan kita, generasi 2045 Indonesia emas nanti itu sudah luar biasa,” tandasnya. (Lingkar Network | Tomi Budianto – Lingkarjateng.id)