Lingkarjateng.id – Bechdel Test Fest merupakan festival pemutaran film untuk merayakan representasi dan peran perempuan dalam karya film. Bechdel Test Fest juga menjadi wadah bagi insan perfilman untuk membedah dan berdiskusi seputar film khususnya membahas dari sisi feminisnya dan keterwakilan perempuan yang direpresentasikan dalam sebuah film.
Istilah Bechdel Test mulai dipopulerkan oleh seorang komikus, Alison Bechdel, pada tahun 1985. Dalam salah satu cerita komik strip Dykes to Watch Out For berjudul The Rule, disebutkan sebuah film lolos Bechdel Test jika memiliki tiga kriteria yaitu: minimal ada dua karakter perempuan, karakter perempuan itu harus mempunyai nama, dan tokoh perempuan itu saling berdialog atau berinteraksi membahas selain tentang laki-laki.
Masih sedikitnya peran perempuan yang berarti dalam sebuah film maupun karya fiksi lainnya menjadi latar belakang Bechdel Test ini muncul. Meskipun dalam perkembangannya kehadiran Bechdel Test menuai pro dan kontra karena kriteria tersebut tidak bisa menjadi standar mutlak dalam menentukan keterwakilan perempuan dalam film.
Bechdel Test tidak untuk memberikan penghakiman terhadap kualitas karakter perempuan maupun kualitas penilaian baik atau buruknya suatu karya film. Sebab film yang bagus belum tentu lolos dari kriteria Bechdel Test tetapi ada juga film yang tidak mengangkat tema feminisme bisa lolos tes tersebut.
Konsep Feminisme
Secara umum, Bechdel Test dianggap sebagai konsep feminisme yang melihat seberapa jauh atau seberapa dalam karakter perempuan memiliki pengaruh dalam alur cerita. Pasalnya, dalam budaya populer, karakter wanita kerap kali digambarkan dalam porsi yang relatif sedikit.
Seperti disebutkan dalam jurnal Psychology of Popular Media tahun 2022, dari 1.200 film paling terkenal mulai tahun 1980-2019 kurang dari setengahnya atau 49,6 persen yang lolos Bechdel Test. anda dapat melihat informasi lebih lanjut tentang Bechdel Test Fest di web bechdeltestfest.com
Variasi Kriteria Bechdel Test
Kriteria bechdel test mulai berkembang tidak hanya mengacu pada tiga kriteria di atas sehingga muncul tes-tes lain untuk mengetahui representasi perempuan dalam film. Misalnya Pierce Test yang dibuat oleh Kimberly Pierce. Kriteria dari Pierce Test ini lebih kompleks dari bechdel diantaranya karakter perempuan harus memiliki ceritanya sendiri, punya kebutuhan dan keinginan sendiri, punya ambisi untuk mengejar keinginannya, dan penonton haris bisa mengerti maupun berempati pada karakter tersebut. Salah satu film yang lolos kriteria ini adalah film The Hunger Games dan Frozen.
Selanjutnya ada konsep tes duvernay yang dibuat Manohla Dargis. Tes yang dinamakan atas Ava DuVernay ini fokus pada ras dimana dalam sebuah film harus memiliki karakter ras minoritas dengan keinginan dan tujuannya sendiri. Misalnya fil Black Panther yang menjadi representasi orang kulit hitam.
Banyak Film Populer Tidak Lolos Bechdel Test
Popularitas sebuah film tidak menjamin bisa lolos Bechdel Test, misalnya The Avengers. Meskipun film ini sangat populer khususnya bagi penggemar Marvel Universe, namun representasi karakter perempuan dalam The Avenger tidak memiliki scene dialog satu sama lain di berbagai kesempatan yang ada.
Selanjutnya, La La Land (2016) juga gagal lolos bechdel tes. Film ini bertema pengejaran mimpi oleh karakter perempuan bernama Mia yang diperankan Emma Stone. Kendati interaksi Emma dan ketiga temannya terlihat saat akan mempersiapkan diri untuk pergi ke sebuah pesta, namun ketiga karakter teman Emma itu tidak pernah disebutkan namanya.
Kemudian, Ratatouille (2007) juga tak lolos bechdel test. Karakter Colette, sang juru masak yang andal dan ambisius ini ternyata tidak membuat film ini lolos dalam bechdel test karena tidak pernah terlihat berinteraksi dengan karakter perempuan lainnya di film.
Daftar film lainnya juga terangkum dalam situs bechdeltest.com baik yang lolos maupun tidak lolos tes bechdel. (Lingkar Network | Lingkarjateng.id)