JEPARA, Lingkarjateng.id – Tradisi Jembul Tulakan di Desa Tulakan, Kecamatan Donorojo, kabupaten Jepara kembali digelar setelah dua tahun vakum akibat pandemi. Tradisi sedekah bumi ini, merupakan salah satu tradisi unik yang syarat nilai budaya dan mengandung nilai sejarah perjuangan Ratu Kalinyamat dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.
Kepala Desa Tulakan, Budi Sutrisno menjelaskan, Upacara Jembul Desa Tulakan ini bermula diadakan berdasarkan kepercayaan masyarakat Desa Tulakan yang timbul oleh adanya ucapan atau sumpah dari Ratu Kalinyamat yang terkenal yaitu “Ora pisan-pisan ingsun jengkar soko topo ingsun, yen ingsun durung biso nganggo keset jambule Aryo Penangsang”.
Dirinya menjelaskan, sumpah tersebut diterima dan kemudian dipahami oleh masyarakat Desa Tulakan bahwa kesetiaan, kecintaan, dan pengabdian sang ratu terhadap suaminya, Sultan Hadlirin yang telah dibunuh oleh Aryo Penangsang.
“Untuk mewujudkan cita-citanya menegakkan kebenaran, keadilan, keamanan, dan ketertiban pada waktu itu, Ratu Kalinyamat dengan kesadaran dan keikhlasan yang tinggi, bersedia meninggalkan gemerlapnya kehidupan istana untuk mendapatkan keadilan dari Tuhan, atas pembunuhan terhadap suaminya tersebut, dengan bertapa di Bukit Donorojo atau kini disebut Sonder,” tutur Sutrino.
Oleh Sebab itulah, masyarakat Desa Tulakan terpanggil dan bergerak hatinya untuk ikut memberikan bantuan secara moril, yakni dengan jalan mengadakan upacara perayaan Jembul Tulakan yang rutin digelar setiap Senin Pahing di Bulan Apit (penanggalan jawa).
“Dalam perkembangan selanjutnya, upacara atau perayaan Jembul Tulakan dijadikan sarana sedekah bumi, yang melambangkan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, terhadap masyarakat Desa Tulakan,” imbuhnya.
Dirinya menjelaskan, Jembul merupakan usungan yang disebut ancak yang di dalamnya berisi aneka makanan (nasi, gemblong, jenang, tape, pisang dan lain-lain) dengan diberi hiasan dari bilahan-bilahan bambu yang disisir atau diirat.
Ketua DPRD Jepara Nilai Tradisi Lomban Lestarikan Budaya Lokal
“Ada dua macam Jembul, yaitu Jembul Lanang (laki-laki) dan Jembul Wadon (perempuan). Jembul Lanang merupakan usungan atau ancak yang di dalamnya berisi aneka makanan juadah (gemblong, jenang, tape, pisang, dan lain-lain) yang diberi hiasan dari bambu yang disisir kecil-kecil halus, sehingga merupakan bilahan bambu,” jelasnya.
Pada Jembul Lanang terpasang Golek yang mencerminkan tokoh dari asal Jembul tersebut. Sedangkan Jembul Wadon merupakan usungan ancak yang di dalamnya berisi nasi ambengan dan lauk pauknya, tanpa ada hiasan bambuyang disisir.
Jembul berasal dari empat dusun yang dipimpin oleh Kamituwo masing masing. Pertama Jembul dari Kamituwan Krajan, yang ditandai dengan Golek yang menggambarkan seorang tokoh bernama Sayyid Ustman.
Lestarikan Kesenian Tradisional, Disparbud Jepara Luncurkan Gamelan Selaras
Kedua Jembul dari Kamituwan Ngemplak, yang ditandai dengan Golek yang menggambarkan seorang tokoh bernama Mangun Joyo. Ketiga Jembul dari Kamituwan Winong yang ditandai dengan Golek yang menggambarkan barisan prajurit yang gagah perkasa.
“Dan yang keempat Jembul dari Kamituwan Drojo dan Pejing, yang ditandai dengan Golek yang menggambarkan seorang tokoh bernama Mbah Leseh,” terangnya.
Upacara Jembul Tulakan itu sendiri, dimulai dengan mencuci kaki petinggi dengan kembang setaman. Setelah pencucian kaki petinggi, dilakukan selamatan, dilanjutkan dengan acara mengitari Jembul sebanyak tiga kali, yang merupakan inti dari proses Jembul Tulakan. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)