PATI, Lingkarjateng.id – Tradisi Meron diakui sebagai salah satu warisan budaya tak benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud RI) pada 2017 silam. Ironisnya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Pati sempat tidak mengetahui fakta tersebut.
Meron merupakan tradisi masyarakat Desa/Kecamatan Sukolilo, Pati sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Sang Pencipta sekaligus untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW. Biasanya tradisi meron diwarnai dengan arak-arakan gunungan selama dua hari
Pamong Budaya Disdikbud Pati, Revita Puspita Hadi, mengungkapkan bahwa pengusulan tradisi meron sebagai WBTB dilakukan oleh masyarakat setempat tanpa sepengetahuan dinas.
“Meron sudah disahkan menjadi warisan budaya secara nasional pada 2017, karena yang melatarbelakangi adalah arak-arakan. Mereka mengusulkan sendiri langsung ke Dirjen Kebudayaan. Kita malah tidak tahu,” ucapnya belum lama ini.
Meriah, Tradisi Meron Sukolilo Habiskan Dana Hingga Rp 46 Juta
Ketidaktahuan Disdikbud seakan mencerminkan ketidakpedulian dinas terhadap kebudayaan yang ada di Pati.
Menilik hal tersebut, lanjut Revita, Disdikbud mulai menggali potensi warisan budaya yang ada di Pati. Kemudian diusulkanlah Wayang Topeng dari Desa Soneyan, Kecamatan Margoyoso dan Batik Bakaran dari Juwana pada 2021.
“Kita pernah mengusulkan (Wayang Topeng dan Batik Bakaran) di tahun 2019 tetapi tidak lolos, terus kita usulkan lagi lolos tahun 2021. Saat penyerahan kita diminta untuk menampilkan di provinsi,” tambahnya.
Sehingga untuk saat ini ada tiga WBTB yang dimiliki oleh Kabupaten Pati. Saat disinggung agar ketiga warisan budaya itu dapat diakui oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) sebagai lembaga pendidikan dunia, Revita ragu untuk mengiyakan. Menurutnya yang penting sudah diakui oleh negara
“Bisa saja (ketiganya) untuk diakui UNESCO, ‘kan ini sudah diakui nasional meskipun sulit untuk diakui secara internasional. (Lingkar Network | Arif Febriyanto – Lingkarjateng.id)