SEMARANG, Lingkarjateng.id – Pengadilan Niaga Kota Semarang memutus pailit PT Sri Rejeki Isman (Sritex) setelah mengabulkan permohonan salah satu kreditur perusahaan tekstil legendaris tersebut yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang yang sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi di Semarang, Rabu (24/10) membenarkan putusan yang mengakibatkan PT Sritex pailit.
Menurut dia, putusan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Anshar Majid tersebut mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex.
“Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022,” katanya.
Dalam putusan tersebut, kata dia, ditunjuk kurator dan hakim pengawas.
“Selanjutnya kurator yang akan mengatur rapat dengan para debitur,” tambahnya.
Dampak putusan tersebut tentu bukan main-main. Setidaknya, sekitar 20.000 pekerja PT Sritex terancam kena pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa pesangon.
“Putusan pailit ini akan mengancam sekitar 20 ribuan karyawan yang tersisa di Sritex group. Mereka akan kehilangan pekerjaan dan bisa-bisa tidak akan mendapatkan pesangon,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, pada Kamis (24/10).
Sebelumnya, pada bulan Januari 2022 PT Sritex digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, yang mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Pengadilan Niaga Kota Semarang mengabulkan gugatan PKPU terhadap PT Sritex dan tiga perusahaan tekstil lainnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, PT Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon karena dianggap tidak penuhi kewajiban pembayaran utang yang sudah disepakati.
Sebagai informasi, PT Sritex adalah perusahaan tekstil legendaris, yang didirikan Haji Muhammad Lukminto di Pasar Klewer, Solo, pada 1966 silam. Unit usaha ini awalnya merupakan kios kecil bernama UD Sri Rejeki, yang kemudian berhasil mendirikan pabrik cetaknya sendiri pada 1968.
Usaha PT Sritex terus berkembang hingga pada tahun 1982, Sritex mampu melebarkan sayap ke segmen tenun dan mendirikan pabrik tenun pertamanya.
Seiring bertumbuhnya skala bisnis PT Sritex, kinerja perusahaan itu bahkan sampai bisa menopang perekonomian Kabupaten Sukoharjo.
PT Sritex kemudian terus menambah jumlah fasilitas produksinya hingga cakupannya kian luas. Skala produksi pabriknya di industri tekstil nasional pun mencakup mulai dari hulu hingga hilir. Di antaranya adalah rayon, katun, poliester, kain mentah, bahan jadi, hingga pakaian jadi. Kantornya di Jakarta pun tergolong skala besar.
PT Sritex juga dipercaya NATO sebagai salah satu pemasok seragam militernya. Bahkan pada saat pandemi Covid-19 menyerang, PT Sritex menjadi perusahaan yang paling cepat menangkap peluang bisnis itu dengan memproduksi jutaan masker.
Namun, kejayaan PT Sritex akhirnya tenggelam karena terbentur utang yang menggunung. Hingga September 2022, hutangnya tercatat sekitar Rp 24,66 triliun. Jumlah tersebut didominasi utang-utang yang memiliki bunga seperti utang bank dan obligasi. (Antara/Lingkarjateng.id)