PATI, Lingkarjateng.id – Mendekati akhir tahun 2023, akan tetapi Raperda tentang Corporate Social Responsibility (CSR) tak kunjung menemukan titik temu. Padahal, Raperda CSR ditargetkan rampung tahun ini. Hal ini lantaran terjadi perbedaan pendapat antara pihak legislatif dan eksekutif.
Pihak legislatif, DPRD Pati, meminta dalam Perda dicantumkan batasan pasti persentase dana CSR yang akan dikenakan pada perusahaan. Akan tetapi, hal itu ditolak mentah-mentah oleh pihak eksekutif, Pemkab Pati. Menurut Pemkab, pemerintah tak berhak cawe-cawe soal CSR perusahaan.
Kepala Bagian (Kabag) Hukum Setda Pati Irwanto mengatakan, jika pemerintah baik itu pihak eksekutif maupun legislatif tidak punya wewenang untuk mengatur besaran dana CSR yang harus dikeluarkan oleh tiap-tiap perusahaan. Hal ini lantaran setiap perusahaan sudah mempunyai kebijakan sendiri-sendiri terkait dana CSR tiap tahunnya.
“Rujukan kami, pemerintah provinsi juga tidak membebani angka. Bahkan ada beberapa daerah yang juga tidak memberikan besaran. Masalahnya memang kami tidak punya kewenangan masuk di swasta untuk menghitung laba perusahaan. Kami sendiri tidak mengetahui secara utuh. Paling kami dimintai saran. Pemda tidak punya kapasitas untuk masuk ke perusahaan. Memang ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan CSR, yang sudah ada pengaturan sendiri-sendiri,” tegas Irwanto saat ditemui di ruangannya pada Jumat, 20 Oktober 2023lalu.
Takut Ganggu Investasi, Pj Bupati Pati Tolak Setujui Batasan Dana CSR
Namun, pernyataan berbeda diungkapkan oleh Direktur Utama Bank BPR BKK Pati, Slamet Widodo. Ia menyebut jika saat ini Perusahaan Daerah (Perseroda) tersebut sudah memiliki payung hukum sendiri yang mengatur besaran dana CSR tahunan. Payung hukum yang dimaksud adalah Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perseroda BPR BKK. Artinya dalam Perda Provinsi pun diatur besaran batasan persentase CSR. Dan hal itu telah berjalan dengan baik hingga saat ini.
Dikatakan Slamet Widodo, dalam bab 12 pasal 78 ayat (2) dijelaskan bahwa laba bersih setelah dihitung pajak, untuk CSR dialokasikan sebesar 3 persen dari laba. Artinya, lebih besar dari usulan DPRD Pati yang hanya bekisar antara 1,5 – 2 persen saja.
“Terkait dengan CSR itu kami sudah diatur dalam Perda Provinsi Jateng Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perseroda BPR BKK. Di mana CSR diatur batasannya 3 persen dari laba setelah pajak tahun sebelumnya. Jadi kalau perusahaan rugi, ya tidak mengeluarkan CSR. Artinya kami sudah memiliki payung hukum. Kalaupun nanti kabupaten (Pati) punya Perda CSR, kami tidak bisa mengikuti (karena sudah punya payung hukum sendiri),” ungkap Slamet.
Kabag Hukum Setda Pati Sebut Pemkab Tak Berwenang Tentukan Besaran Dana CSR
Berdasarkan data dari Kepala BPKAD Kabupaten Pati Sukardi, diuraikan bahwa dana CSR yang diterima Pemkab Pati mencapai miliaran rupiah. Di antaranya Bank Jateng Rp 1,94 miliar, PDAM Rp 90 juta, Bank Daerah Rp 250 juta, BKK Rp 213 juta. Perkiraan Ketua Pansus Raperda CSR, kalau swasta dimasukkan bisa sentuh angka Rp 10 miliar.
Ketua DPRD Pati Ali Badrudin melalui Ketua Pansus Raperda CSR M. Nur Sukarno menegaskan kalau batas minimal CSR harus ditentukan sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2011 mengenai pengentasan kemiskinan, yang di dalamnya mengarah ke upaya pengentasan kemiskinan, penanganan stunting, lembaga pendidikan, kebudayaan dan UMKM dan lainnya.
“Jikalau eksekutif tidak menghendaki 2 persen, kami (Dewan) siap jika diturunkan lagi menjadi 1,5 persen,” tegas politisi dari Partai Golkar itu.
Menurutnya, dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur besaran dana CSR, dewan selaku wakil rakyat bisa memberikan arahan terkait penggunaan dana tersebut untuk kemaslahatan masyarakat Pati. Juga bisa melakukan pengawasan agar tidak disalahgunakan.
“Makanya kita buat Raperda itu, supaya jelas ada batasan minimal CSR. Sehingga nanti sewaktu-waktu dewan bisa memanggil perusahaan itu jika tidak memenuhi kewajibannya,” jelas Sukarno.
Ia menegaskan, alasan pemkab keberatan dalam menentukan besaran minimal CSR yakni menghambat investasi tidak tepat.
“Yang perlu kita tekankan persentase batas minimal dari keuntungan bersih. Kalau ada anggapan itu memberatkan pengusaha saya kira tidak, wong dari keuntungan bersih,” tegasnya saat ditemui di Gedung DPRD Pati pada Selasa, 31 Oktober 2023 lalu.
Jika penyusunan Raperda CSR tidak menemukan titik terang, lanjut Sukarno, terpaksa dibatalkan. Kendati demikian, pihaknya berjanji akan berjuang keras agar Raperda CSR dapat diselesaikan.
“Tahun kemarin itu harus sudah clear tahun 2022, paling tidak awal tahun 2023 sudah jalan. CSR ‘kan gini, tahun 2023 yang dikeluarkan itungan 2022,” lanjutnya.
Meski demikian, Penjabat Bupati Pati Henggar Budi Anggoro tetap pada pendapatnya untuk tidak setuju kalau CSR harus diatur-atur dalam Perda. Henggar menyebut jika besaran CSR ditetapkan bisa berpengaruh terhadap keran investasi di Kabupaten Pati.
“Saya kira tidak ada masalah. Apa masalahnya? Justru itu nanti (penetapan besaran CSR) bisa menurunkan investasi yang ada di sini,” ucap Henggar saat dikonfirmasi pada Selasa, 17 Oktober 2023.
Meskipun demikian, dalih tersebut tidak terbukti dan sudah ditepis oleh Ketua Pansus Raperda. Hal ini karena CSR diambil dari laba perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan. Melalui CSR ini perusahaan ikut membantu dan mengembangkan masyarakat setempat dari berbagai aspek. Artinya, jika perusahaan tidak memiliki laba alias rugi, maka perusahaan tersebut tidak akan diwajibkan mengeluarkan dana CSR. (Lingkar Network | Arif Febriyanto/Setyo Nugroho – Lingkarjateng.id)