SEMARANG, Lingkarjateng.id – Komisi D DPRD Kota Semarang akan berupaya untuk menganalisis penyebab maraknya kenakalan remaja, khususnya tawuran gangster yang kini sering terjadi di Ibu Kota Jawa Tengah.
Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang, Anang Budi Utomo, menilai bahwa para remaja yang tergabung dalam gangster itu minim kegiatan positif untuk menghabiskan waktu. Seperti cabang olahraga (cabor) yang dinilai belum bisa menjadi wadah untuk menyalurkan bakat para remaja.
“Sebenarnya di cabor-cabor olahraga kita sudah terbuka seperti tinju, pencak silat, hingga taekwondo. Tapi nampaknya di satu sisi agak membelah, jadi cakupannya belum bisa luas,” terang Budi pada Jumat, 20 September 2024.
Untuk itu, pihaknya akan melakukan deteksi dini mengenai penyebab dan solusi untuk menghapus kenakalan remaja di Kota Semarang.
“Sebenarnya apa penyebabnya? Kalau memang kurang saluran/kegiatan ini nanti kita lakukan deteksi-deteksi dini, terutama cabor-cabor yang terkait dengan itu. Namun tidak membawa dampak negatif,” imbuhnya.
Selain itu, pihaknya juga sempat hendak menambah jam belajar dan pekerjaan rumah (pr). Namun, setelah ditimbang, jika usulan itu direalisasikan maka akan jadi peraturan yang konyol.
Komisi D DPRD juga meminta pihak kepolisian sebagai penjaga ketertiban masyarakat agar lebih intens melakukan operasi, terutama untuk senjata tajam (sajam).
“Kita harapkan harus banyak operasi-operasi sajam terutama di malam hari,” harap dia.
Sehingga, untuk mengantisipasi dan meminimalisir kenakalan remaja, sambung Budi, operasi penegakan harus terus ditingkatkan, serta tindakan persuasif atau preventif dari pemerintah juga digencarkan. Salah satunya adalah melalui koordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Pendidikan hingga Dinas Pemuda dan Olahraga.
“Jadi kalau Alat Kelengkapan Dewan (AKD) sudah terbentuk, kita ingin segera lakukan koordinasi atau rapat dengan pendapat. Sehingga, paling tidak kita bisa bersama-sama mengantisipasi dan mencegah kenakalan seperti itu tidak muncul,” lanjut Budi.
Disinggung mengenai penanganan bagi korban tawuran yang jarang rumah sakit mau menerimanya, Budi menganggap, hal itu lantaran tidak ditanggung Jasa Raharja maupun BPJS.
“Kemarin kita juga sempat diskusi bahwa korban tawuran ini kadang-kadang rumah sakit enggan untuk menerima, karena korban tawuran ini kalau diklaimkan jasa Raharja sampai BPJS juga tidak bisa,” katanya.
“Memang satu sisi ini untuk pembelajaran bahwa itu tidak ditanggung asuransi dari pemerintah. Tapi apapun kalau kita sudah jadi korban juga kita tidak bisa diam,” lanjutnya.
Untuk itu, pihaknya sangat mengapresiasi dari tim kesehatan yang tetap sigap dan solid dalam membantu mengobati para pelaku tawuran tersebut. (Lingkar Network | Rizky Syahrul Al-Fath – Lingkarjateng.id)