JEPARA, Lingkarjateng.id – Perang obor merupakan salah satu tradisi unik di Kabupaten Jepara yang ditunggu masyarakat lokal maupun luar daerah. Tradisi tahunan ini merupakan rangkaian dari kegiatan sedekah bumi di Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara.
Tradisi perang obor menampilkan atraksi dengan menyulut api pada pelepah kelapa dan daun pisang kering, kemudian diikuti peserta yang ikut perang obor.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Jepara, Eko Udyyono, mengapresiasi masyarakat Desa Tegalsambi yang masih melestarikan tradisi perang obor.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Desa Tegalsambi yang terus melestarikan tradisi budaya, dan perang obor ini kan menjadi salah satu yang sudah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda,” kata Eko, Senin, 21 Mei 2024.
Eko menjelaskan bahwa perang obor berasal dari dua legenda tokoh Ki Gemblong dan Mbah Babadan. Singkat cerita, Mbah Babadan ini adalah sosok kaya raya di Desa Tegalsambi yang memiliki banyak hewan ternak berupa sapi dan kerbau.
“Saking banyaknya hewan, Mbah Babadan tidak sanggup mengembala sendiri. Maka meminta Ki Gemblong untuk membantunya,” jelasnya.
Ki Gemblong merupakan sosok yang rajin dan tekun dalam merawat hewan ternak, maka tak ragu Mbah Babadan memilihnya. Namun, suatu ketika Ki Gemblong sedang menggembala, melihat banyaknya ikan dan udang di sungai kemudian menangkap dan membakarnya di kandang ternak.
Hal tersebut dilakukan Ki Gemblong berkali-kali, sehingga melalaikan tugasnya menggembala hewan ternak, sampai hewan-hewan ternaknya kurus dan sakit.
“Mbah Babadan curiga terhadap hewan ternaknya yang mulai kurus dan sakit-sakitan. Akhirnya, melihat Ki Gemblong sedang asyik menikmati ikan dan udang bakar di kandangnya,” tambahnya.
Setelah melihat kejadian itu, Mbah Badan marah dan memukul Ki Gemblong dengan pelepah kelapa yang sudah dibakar. Namun, Ki Gemblong tidak terima dan membalas pukulan tersebut dengan blarak yang sudah dibakar juga dan akhirnya terjadilah perang obor yang mengakibatkan kandang ternak terbakar sementara hewan-hewan ternak melarikan diri.
Mbah Babadan dan Ki Gemblong terkejut melihat hewan ternak yang semula sakit, tiba-tiba sembuh dan melarikan diri. Peristiwa inilah yang mendasari munculnya keyakinan bahwa perang obor merupakan ritual tolak balak.
“Puncak tradisi perang obor adalah saat disulutnya blarak dan klaras oleh tokoh adat atau tamu undangan,” imbuhnya.
Sementara itu Kepala Desa Tegalsambi, Agus Santoso, menjelaskan bahwa saat ini peserta perang obor berasal dari yang muda dan tua.
“Kali ini sebanyak 500 obor yang akan dijadikan alat perang,” kata Santoso.
Santoso menyampaikan bahwa atraksi budaya ini menjadi salah satu acara yang menarik perhatian banyak pihak. Hal ini terbukti dari jumlah fotografer dan videografer dari berbagai penjuru Indonesia yang datang setiap tahunnya yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Ia juga menekankan bahwa perang obor ini menjadi sarana pemersatu bagi seluruh masyarakat desa. Karena perang obor ini merupakan bagian dari rangkaian sedekah bumi yang melibatkan seluruh masyarakat desa.
“Dengan tradisi ini, kita berharap masyarakat semakin rukun, damai dan sejahtera. Tidak ada gesekan apa pun. Tegalsambi aman tenteram,” sambungnya.
Saat ini perang obor, telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia sesuai Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 1044/P/2020 tentang WBTB Indonesia pada tahun 2020.
Selain Perang Obor, ada Pesta Lomban dan Jembul Tulakan yang merupakan WBTB yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). (Lingkar Network | Muhammad Aminudin – Lingkarjateng.id)