BLORA, Lingkarjateng.id – Didampingi Forum Bela Negara Republik Indonesia (FBN-RI), ratusan petani tebu menggeruduk kampus Universitas Negeri Gadjah Mada (UGM) yang berada di Desa Getas, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, pada Selasa siang, 25 Februari 2025.
Kedatangan mereka untuk meminta kejelasan terkait polemik lahan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang saat ini diklaim menjadi kawasan yang dikelola pihak UGM.
Kuasa hukum petani tebu Desa Getas dari LBN-RI, Novel Bakrie, menjelaskan bahwa saat ini banyak petani yang mengeluh dan terintimidasi oleh tindakan arogan yang diduga dilakukan oleh pihak UGM.
“UGM mengklaim mereka memiliki kewenangan atas 10.800 hektare lahan, padahal diketahui jika sebelumnya hanya sekira 1.000 hektare di awal kedatangan mereka di sini pada 2016 lalu,” ungkapnya.
Pihaknya ingin meminta kejelasan terkait klaim atas lahan tersebut dan atas dugaan tindakan arogansi yang dilakukan oleh pihak UGM kepada petani Desa Getas.
“Kami atas nama petani di sini menyayangkan yang dilakukan oleh pihak UGM. Kami di sini ingin melakukan upaya-upaya hukum, di mana telah terjadi tindakan yang menurut kami kurang pas,” ujar Novel.
Menurutnya, petani di wilayah tersebut selama bertahun-tahun hanya mengandalkan pertanian tebu dan jagung dari lahan KHDTK. Mulai petani dari Desa Getas, Desa Gempol, Desa Tlogotuwung, dan dari desa tetangga Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi.
“Jika petani harus angkat kaki, dan diusir dengan ancaman dipidanakan, cara ini sangat kami sayangkan. Kami ingin ada solusi,” tandasnya.
Novel mencontohkan, beberapa lahan petani yang sudah ditanami tebu, disemprot obat sehingga mengakibatkan tanaman tebu tersebut kering dan mati. Bahkan tercatat ada puluhan kepala keluarga (KK) yang sudah mendirikan bangunan rumah tidak permanen juga dipaksa untuk membongkarnya.
“Apa tidak kasihan petani dan masyarakat di sini yang selama ini menggantungkan hidup dari lahan hutan,” ucapnya.
Novel menegaskan bahwa pihaknya akan mendampingi petani dan warga agar bisa mendapatkan hak mereka.
Sementara itu, pihak UGM yang diwakili oleh Direktur Pengelolaan KHDTK, Tri Admojo, mengatakan bahwa pihaknya akan mengkaji dan mempelajari terlebih dahulu tuntutan masyarakat melalui aspek hukum dan aspek sosial.
Terkait klaim lahan seluas 10.800 hektare tersebut, menurutnya, pihaknya hanya menjalankan amanah yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
“Kami hanya akan menyebutkan bahwa 10.800 hektare itu adalah kawasan hutan negara, itu dulu ya kuncinya. Dasarnya, keputusan Menteri Kehutanan RI,” jelasnya.
Admojo menegaskan bahwa pihaknya diberi tugas untuk mengelola lahan tersebut oleh menteri kehutanan yang dulu dikelola oleh BUMN Perhutani.
“Nah, 2016 Menteri Kehutanan mengalihkan dari Perhutani ke UGM, sesimpel itu ya,” imbuhnya. (Lingkar Network | Hanafi – Lingkarjateng.id)