PATI, Lingkarjatengd.id – Belakangan ini istilah metaverse menjadi perbincangan baru dalam dunia teknologi modern. Termasuk wacana haji metaverse yang disebut mampu menggantikan pelaksanaan ibadah yang hanya dilakukan di tanah suci. Hal ini pun menuai kontroversi dari berbagai kalangan.
Wacana haji metaverse ini muncul dengan tujuan baik, sebab sebelumnya pandemi Covid-19 menghalangi umat muslim untuk menjalankan rukun Islam kelima ini. Inovasiyang digagas oleh ulama Arab Saudi ini tidak dapat diterima begitu saja.
Kepala Seksi (Kasi) pelaksanaan Haji dan Umroh Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Pati, Abdul Hamid, pun tidak setuju jika pelaksanaan ibadah haji ke tanah suci bisa diganti dengan haji metaverse yang dilakukan secara virtual.
“Regulasi dari pemerintah tidak ada yang namanya haji metaverse. Haji ya haji. Jadi haji metaverse itu hanya istilah terminologi yang muncul belakangan ini, yang kebetulan sekarang ini adalah dunia digital yang pada akhirnya muncul kemudian disebut haji metaverse,” jelasnya.
Menurut Hamid, haji secara virtual tidak sesuai dengan hukum dan syariat islam. Meski inovasi ini terkesan sangat modern, dimana penggunannya dapat seolah-olah berada di tanah suci namun namanya ibadah tetap harus dilaksanakan di tempat yang sesungguhnya.
“Secara syar’i tidak diperkenankan dan secara regulasi juga tidak mengatur. Itu hanya inovasi orang-orang yang ahli teknologi saja untuk mempermudah orang melihat masjid Nabawi, Masjidil Haram, seolah-olah berada di sana padahal itu hanya ilusi atau gambar saja,” bebernya.
Akan tetapi, sambung Hamid, kalau inovasi metaverse ini digunakan sebagai latihan beribadah haji atau manasik haji, hal tersebut masih wajar dan sah-sah saja. Asalkan tidak untuk mengganti ibadah haji yang sesungguhnya.
Kerinduan akan rumah Allah seiring dengan ditutupnya Makkah karena Covid-19 juga dirasa Hamid menjadi alasan dari para ulama di Arab Saudi meluncurkan terobosan ini.
“Untuk hukum nya sendiri, kalau hanya sekedar upaya untuk semakin orang rindu ke baitullah, senang kepada Rasulullah, tentu itu boleh-boleh saja tidak ada persoalan yang terkait dengan itu. Hal yang menjadi persoalan kemudian adalah ketika itu dianggap sebagai sebuah kegiatan Ibadah yang benar-benar seperti Ibadah sungguhan itu yang salah,” ungkapnya.
Hamid mengatakan, haji metaverse itu hanya diujicobakan di Arab Saudi. Di Indonesia belum ada praktik inovasi tersebut.
“Praktiknya di Indonesia belum ada yang memanfaatkan itu, seperti yang diberitakan. Untuk hari ini belum ada yang menggunakan cara-cara seperti itu (haji metavers),” ucapnya.
Inovasi metaverse dinilai Hamid sangat bagus dan bermanfaat jika nantinya sampai di Indonesia. Masyarakat bisa travelling merasakan pelaksanaan ibadah haji secara langsung di tanah suci meski hanya ilusi. Karena akan lebih memahamkan calon jemaah haji.
“Kalau manasik haji memakai model seperti itu malah bagus, karena itu lebih mendekatkan pemahaman orang terhadap sesuatu yang real, meski itu hanya ilusi atau virtual saja itu malah memberikan kemudahan untuk memahami. Untuk pembinaan, bimbingan manasik justru itu cara yang bagus, tapi kalau untuk bimbingan haji sungguhan itu tidak sah dan tidak diperbolehkan,” tambahnya.
Teknologi semacam ini memerlukan biaya yang cukup mahal. Akan tetapi, hal semacam ini dinilai mampu membuat seluruh elemen masyarakat yang tidak mempunyai cukup uang atau keterbatasan usia untuk melaksanakan ibadah haji, dapat melihat Ka’bah atau rumah Allah secara virtual. (Lingkar Network | Arif Febriyanto – Lingkarjateng.id)