Lingkarjateng.id – Tokoh perang Surabaya ini memiliki jabatan strategis pada pertempuran 10 November 1945. Salah satu keputusannya mampu menipu tentara Sekutu dan melucuti senjata Jepang. Ia adalah Soengkono, pemuda yang lahir di kaki Gunung Slamet. Mayor Jenderal TNI (Purn.) Soengkono adalah seorang tokoh militer Indonesia dan merupakan tokoh sentral Pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Pada momen bersejarah itu, ia menjabat komandan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Namanya kini diabadikan menjadi nama jalan utama di Kota Surabaya yaitu Jalan Mayjen Sungkono.
Soengkono lahir Ahad Wage 1 Januari 1911 di Purbalingga Kidul Kabupaten Purbalingga, dari pasangan seorang tukang jahit Tawireja dan Rinten.
Ia menempuh pendidikan di Hollands Indische School (HIS) tahun 1928, kemudian melanjutkan ke MULO dan setelah lulus, meneruskan ke Zelfontelkeling hingga kelas dua dan mengantongi ijazah K.E.
Ia juga menyelesaikan pendidikan militer selama dua tahun, yang diperoleh dari sekolah teknik perkapalan atau Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen (KIS) di Makassar dan bekerja di Koninklijke Marine.
Pada tahun 1943, Soengkono masuk tentara PETA di Banyumas dan mengikuti latihan di Bogor. Awal tahun 1945 diangkat menjadi Chodancho (komandan kompi) dengan pangkat kapten dan ditempatkan di Daichi Daidan Surabaya. Ketika terjadi pemberontakan PETA di Blitar, Sungkono dicurigai dan “diamankan” di Renseitai Bogor.
Setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, meskipun sudah Proklamasi, Jepang saat itu masih juga berkuasa. Maka pada bulan September 1945, Sungkono memimpin perjuangan pengambilan kekuasaan sekaligus melucuti senjata Jepang.
Ia mengajak mantan anggota PETA, Heiho, KNIL, dan pemuda pejuang bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Mereka bertugas merebut senjata dari tangan Jepang, agar pasukannya memiliki persenjataan yang lebih memadai.
Soengkono kemudian diangkat menjadi komandan BKR Surabaya. Pada peristiwa Pertempuran Surabaya, pelucutan senjata Jepang oleh BKR pimpinan Soengkono dilakukan dengan cara diplomasi, tanpa ada pertumpahan darah.
Ia mengadakan pembicaraan dengan tentara Jepang yang dipimpin Iwabe. Lewat pembicaraan yang alot, akhirnya senjata bisa diperoleh.
Agar persenjataan pasukan BKR tidak dilucuti sekutu, penyerahan senjata dilakukan dengan cara sandiwara, seolah-olah mantan tentara PETA merampas senjata dari Jepang. Dengan demikian Jepang bisa mengatakan kepada sekutu, bahwa senjata mereka direbut oleh pemuda–pemuda Indonesia.
Menurut catatan, persenjataan dan peralatan perang Jepang yang diserahkan terdiri dari 19.000 senapan, 700.846 pistol otomatis, 422.700 senapan mesin ringan dan 480.504 senapan mesin sedang. Senjata lain berupa 148 pelempar granat, 17 meriam Infanteri, 63 mortir, 400 mortir baru, 1525 meriam anti-tank, 62 kendaraan panser dan 1990 kendaraan bermotor.
Dengan senjata sebanyak itu, para pejuang di Surabaya mampu melawan balik pasukan Inggris dan menahan mereka berminggu-minggu. Kisahnya jadi inspirasi dan panutan para pemimpin masa kini. Keputusan-keputusan cerdiknya membawa secercah harapan bagi para pejuang di Surabaya. (Rizky Riawan – Lingkarjateng.id)