SEMARANG, Lingkarjateng.id – Penolakan sopir truk terkait kebijakan over dimensi dan overload (ODOL), telah memancing ratusan sopir truk untuk unjuk rasa di depan Kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Jawa Tengah, Semarang pada Selasa (22/2) pagi. Mereka menuntut agar pemerintah membatalkan atau merevisi aturan over dimensi dan overload (ODOL) itu.
Ketua Aliansi Pengemudi Independen (API), Suroso mengatakan, aturan tersebut dinilai merugikan pengemudi truk. Pihaknya mendesak Kementerian Perhubungan meninjau ulang atau membatalkan kebijakan ODOL.
“Kita minta direvisi, setidaknya aturan ini tidak memberatkan sebelah pihak, terutama orang kecil,” kata Ketua Aliansi Pengemudi Independen, Suroso.
Aksi unjuk rasa ratusan pengemudi yang membawa truk-truk besar sempat membuat macet jalur pantura Semarang. Kendati demikian, Suroso mengatakan, peserta aksi hari itu belum semuanya, karena masih banyak yang tidak bisa masuk ke Semarang.
Ratusan Sopir Truk Demo di Kudus, Protes Kebijakan ODOL
“Ini kita baru perwakilan. Di wilayah-wilayah kita disekat. Karena situasi pandemi juga kita menjaga prokes, kita kurangi oke,” ungkapnya.
Sedangkan terkait kebijakan ODOL, hingga kini pemerintah masih memberikan toleransi terhadap aturan. Namun, pada 1 Januari 2023 mendatang aturan tersebut akan berlaku penuh.
Pihaknya mengecam jika aturan tersebut tidak direvisi, maka seluruh sopir se-Indonesia akan berhenti total. “Saatnya sopir bangkit, saatnya sopir menuntut haknya,” tandasnya.
Di sisi lain, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno justru menganggap wajar ketika para sopir protes. Sebab, merekalah yang paling terkena dampak dari normalisasi ODOL.
Polres Rembang Tertibkan Kendaraan Bermuatan Lebih
Menurut Djoko, akar masalah truk ODOL adalah tarif angkut barang terlalu rendah, karena pemilik barang tidak mau keuntungan selama ini berkurang padahal biaya produksi meningkat.
Pemilik armada truk atau pengusaha angkutan, juga tidak mau berkurang keuntungannya. Begitu pun dengan pengemudi truk yang tidak mau berkurang pendapatannya.
Tarif angkut barang yang tergolong murah ini membuat para sopir memutar otak. Belum lagi adanya beban biaya tidak terduga. Akhirnya, kapasitas muatannya disesuaikan untuk menutup biaya operasional.
“Kelebihan muatan dengan menggunakan kendaraan berdimensi lebih itu untuk menutupi biaya tidak terduga yang dibebankan ke pengemudi truk,” katanya.
Ia mengungkapkan ke depannya pasti akan sulit mendapatkan pengemudi truk yang berkualitas karena pekerjaan tersebut tidak lagi diminati banyak orang. “Populasi pengemudi truk makin berkurang. Jika masih ada yang bertahan mungkin karena belum punya alternatif pekerjaan yang lain,” imbuhnya.
Pengemudi truk mempunyai tekanan berat karena mereka berhadapan langsung dengan kondisi nyata di lapangan. Djoko menyarankan, supaya pengemudi truk dijadikan sebagai mitra, bukan selalu jadi tersangka. “Tingkatkan kompetensinya dan naikkan pendapatannya,” pungkasnya. (Lingkar Network | Dinda Rahmasari – Koran Lingkar)