SEMARANG, Lingkarjateng.id – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Tengah kembali turun ke jalan dengan menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Gubernur Jateng di Semarang untuk mengkritisi program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada Kamis, 6 Juni 2024.
Program Tapera yang digulirkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 21 tahun 2024 itu dinilai memberatkan para buruh, khususnya di Jawa Tengah yang memiliki upah rendah.
FSPMI Jateng menyebut bahwa pemerintah telah melepas tanggung jawabnya dalam menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat. Sebab, dalam program Tapera pemerintah membebankan kewajiban menabung kepada pekerja dan pemberi kerja dengan membayar iuran sebesar 2,54 persen dan pengusaha sebesar 0,54 persen.
Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng, Aulia Hakim, mengatakan bahwa program Tapera setelah dianalisis ternyata masih banyak kelemahan di dalamnya.
“Kelemahan itu meliputi ketidakpastian memiliki rumah. Dengan potongan gaji sebesar 3 persen dari upah buruh untuk iuran Tapera, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan, hanya untuk uang muka saja tidak,” ujarnya di hadapan para awak media pada Kamis, 6 Juni 2024.
Ia menilai pemerintah lepas tanggung jawab. Hal ini karena dalam PP Tapera tidak ada satu usul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.
“Iuran Tapera hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera. Dengan demikian pemerintah lepas dari tanggung jawabnya,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa program Tapera membebani biaya hidup buruh. Terlebih, daya beli buruh saat ini turun 30 persen imbas upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja.
Apalagi, kata dia, kenaikan upah minimum kota (UMK) di Kota Semarang tahun 2024 hanya sebesar 6 persen dan Kabupaten Jepara sebesar 7,84 persen saat ini sedang digugat Apindo di PTUN. Jika Apindo memenangkan gugatan, ia menilai potongan 2,54 persen dari program Tapera akan semakin memukul daya beli buruh di kedua kabupaten/kota tersebut.
Selain itu, Aulia Hakim juga menilai program Tapera rawan untuk dikorupsi. Hal ini karena dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan.
“Karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance). Untuk jaminan sosial, dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah. Model Tapera bukanlah keduanya,” tegasnya.
Ia juga menyinggung program Tapera adalah tabungan yang memaksa. Menurutnya, dana Tapera yang disebut pemerintah sebagai tabungan seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa.
Ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera juga turut dikritisi oleh FSPMI. Dalam hal ini, PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, keberlanjutan dana Tapera rawan terputus karen potensi terjadinya PHK sangat tinggi.
“Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang terkena PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Jawa Tengah dalam aksi ini mengajukan beberapa tuntutan.
Tuntutan pertama adalah pencabutan PP 21/2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan.
Kedua, pencabutan Omnibus Law UU No.6/2023 Cipta Kerja. Ketiga, pencabutan gugatan Apindo terhadap UMK Jawa Tengah tahun 2024.
Terakhir, penghapusan outsourcing dan tolak upah murah atau “Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah” (HOSTUM). (Lingkar Network | Rizky Syahrul Al-Fath – Lingkarjateng.id)