PATI, Lingkarjateng.id – Sejarah agama Islam di Kabupaten Pati tak lepas dari tempat ibadah Masjid Baiturrohim Gambiran, Dukuh Gambiran, Desa Sukoharjo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati. Pasalnya, masjid ini didirikan pada 9 Oktober 1445 yang mana telah menjadi masjid tertua di Kabupaten Pati.
Masjid yang berusia 5 abad ini, sudah beberapa kali direnovasi. Bahkan sempat dipugar pada tahun 1885 oleh Bupati Pati, Raden Ario Candrahadinegara. Pemugaran tersebut ditulis dalam prasasti yang terpajang di atas pintu utama masjid.
Meski sudah dilakukan renovasi beberapa kali, secara total tidak mengubah arsitekturnya seperti dinding kayu dan atap limas bersusun yang merupakan corak khas Kerajaan Kesultanan Demak. Atap bersusun yang menyerupai Masjid Agung Demak dan Masjid Cirebon ini semakin ke atas semakin mengecil, di bagian atasnya terdapat mustaka untuk memberikan tekanan terhadap keruncingannya.
Mustaka pada masjid ini, berbentuk kendhil (alat untuk memasak yang terbuat dari tanah liat). Setelah masjid dipugar pada tahun 1885, mustaka dipindahkan ke Masjid Winong. Namun, saat mustaka dipasang di atas masjid, justru masjid tersebut roboh.
Apa Saja Wisata Religi Pati?
9 Wisata Religi di Kabupaten Pati
Kemudian panitia Masjid Winong tersebut memindahkannya ke masjid yang terletak di Desa Tawangrejo dan ditukar dengan bedug milik masjid Desa Tawangrejo. Pada saat itu, musataka diterima oleh Kepala Desa Suromenggolo. Peristiwa tersebut terjadi pada 1890 sesuai dengan dokumen asli yang ditulis carik Desa Tawangrejo, Bapak Ngusman bin A. Abdul Aziz (Surodimejo). Dokumen tersebut, diserahkan pada KH. A. Ishom dan masih tersimpan sampai sekarang.
Masjid Baiturrohim Gambiran awalnya dirintis oleh Sunan Kalijaga (Raden Said) dengan mendirikan 4 tiang kayu sebagai penopang atap tengah. Atap tengahnya ditopang oleh empat tiang kayu raksasa yang terbuat dari beberapa balok (tatah) yang diikat menjadi satu. Tiang tersebut merupakan sumbangan Sunan Kalijaga yang diperoleh dari sisa-sisa pekerjaan wali-wali lainnya. Pendirian masjid ini tepat sebelum Sunan Kalijaga bersama wali-wali lain mendirikan Masjid Agung Demak.
Pada awal perintisan sekitar abad ke-14, dinding masjid masih berupa gebyok dan lantainya acian semen. Baru pada tahun 1885, Bupati Pati Raden Aryachandra melakukan renovasi dengan mengganti alas masjid, penggantian gebyok dengan dinding dan lantai keramik. Sedangkan pintu-pintu, jendela, mihrab dan interior lainnya di cat ulang.
Mimbar pada masjid ini terbuat dari kayu jati kuno dengan bentuk seperti singasana Raja. Selain itu, mimbar ini juga mengalami pergantian pada salah satu tiang karena sudah usang. Motif pada mimbar masjid ini bentuknya cembung motif Majapahit dan bercampur cekung. Selanjutnya di bagian angkup berbentuk krawing dengan diakhiri ulir kecil.
Selain motif Majapahit pada mimbar, terdapat kalamakara yang terletak di atas tempat duduk khatib. Dalam kepercayaan Hindu, hiasan kalamakara dianggap sebagai simbol penolak bala. Terdapat juga tempat duduk mimbar yang menyerupai Altar Candi dengan lipatan-lipatan segi empat.
Bagaimana Adab Membaca Alquran Digital?
12 Adab Membaca Alquran Digital di Bulan Ramadan
Bentuk mimbar pada masjid ini merupakan akulturasi dari kebudayaan Hindu dan Islam. Akulturasi ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk ornamen yang memiliki corak Hindu yang dipadu satukan dalam bentuk mimbar, di mana mimbar tersebut sebagai dakwah. Semoga informasi ini dapat membantu Anda. (Lingkar Network | Jazilatul Khofshoh – Lingkarjateng.id)
Sumber Referensi:
Purwadi, 2005. Babad Demak: Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa. Yogyakarta: Tunas Harapan.