Lingkarjateng.id – Belajar dari kematian Miss USA 2019, ada sedikit ilmu yang bisa penulis ambil dan renungkan dalam-dalam. Dari renungan itu, penulis menemukan satu teori penting. “Kendalikan pikiranmu, maka semua akan terkendali.” Kalimat tersebut, rasanya terlalu teoritis. Namun, praktiknya tak semudah membalikkan telapak tangan. Right?
Marilah kita lihat dan amati sekitar. Banyak orang cerdas, berprestasi, berbakat, cantik, tampan, kaya, populer, they have everything yang diinginkan orang lain untuk gemerlap dunia. But … they die sadly.
Melompat bunuh diri dari Lantai 60 dipilih sebagai jalan kematian seorang Miss USA 2019. Padahal ia begitu aktif di Instagram dengan segudang prestasinya, juga keceriaan yang lekat dengan pribadinya.
Bahkan, sehari sebelum hari kematiannya. Satu jam sebelum terjun bebas, dia menuliskan di instagramnya: “Semoga hari ini membawamu ketenangan dan kedamaian”.
Kesimpulannya, dia melompat karena merasa tidak tenang dan tidak damai. Ya, kan?
Pihak Miss Universe sendiri menyebut, “Dia salah satu yang bersinar. Orang paling baik dan hangat. Kami merasa bangga mengenalnya. Seluruh komunitas kami berduka kehilangannya.”
Dialah, Cheslie Kryst. Ia merupakan ratu kecantikan yang mengukir sejarah ketika meraih gelar juara. Sebab dia adalah orang pertama yang mencetak gelar Miss USA dari kulit hitam.
Kesehariannya juga sangat gemilang sebagai pengacara pro-bono untuk narapidana yang divonis tidak adil.
Ia memulai kariernya di dunia modelling sejak usia 10 tahun. Terinspirasi dari ibunya, yang menjadi Mrs North Carolina 2002.
Rencana bunuh diri di usia 30 tahun agaknya bukanlah rencana spontan. Sebab dia sempat membuat surat wasiat berisi keinginannya meninggalkan semua harta miliknya kepada sang bunda. Sama sekali tak ada penjelasan, mengapa ia nekat bunuh diri dengan cara setragis itu.
Pikiran-pikiran untuk bunuh diri sebagai jalan pintas dari tidak-sempurnaan hidup, tak hanya melintas di pikiran satu dua orang dengan gangguan mental. Namun orang yang dikenal ceria, bisa jadi karena topengnya terlalu tebal, atau orang yang dikenal baik-baik saja, ternyata tidak baik-baik saja.
Kembali lagi, semua bersumber dari kekuatan pikiran. Dan nggak ada orang yang bisa lancang, masuk ke dalam pikiran kita, mengambil alih dan menyetir laju perjalanan kita, selain diri kita sendiri.
Dalam Islam, banyak sekali ayat-ayat yang jadi obat hati. Lebih ampuh dari seribu terapi. Hanya saja, tak banyak yang meresapi. Memikirkan arti dari ayat yang kita baca, juga sama pentingnya dengan mengaji itu sendiri.
Pikiran yang digunakan untuk menelaah ayat-ayat suci Al Quran, akan penuh dengan keberkahan. Sehingga ketika kesulitan datang, seberat apa pun, pikirannya akan tetap menempatkannya dalam ketenangan dan kedamaian.
“Bukankah setiap kesulitan akan diiringi dengan kemudahan?” (QS. Al Insyirah : 5-6)
“Bukankah Allah tidak akan menguji seseorang di luar kesanggupannya?” (QS. Al Baqarah : 286)
“Bukankah hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang?” (QS. Ar Radu : 28)
Sebagai penyintas gangguan mental yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, penulis tidak dibantu satu psikiater pun. Tidak juga psikolog. Namun penulis membantu diri sendiri keluar dari lembah itu. Ya, aku mencari pertolongan dengan apa pun, termasuk lari ke kajian, hingga damai itu datang.
Kedamaian dalam depresi mental ini yang membuatku bertemu banyak orang-orang hebat lainnya. Orang-orang hebat dengan masalah hidup yang berat, tetapi berserah hanya kepada-Nya, sehingga pancaran imannya terasa nyata. Mereka (ahli mengaji) tak hanya menampakkan wajah tenang, tapi juga mampu menenangkan orang-orang di sekitarnya.
Ketika pikiran kita penuh dengan sugesti positif, kita akan belajar untuk menenangkan diri sendiri ketika masalah itu datang.
Nah, terkhusus untuk umat muslim yang tiba-tiba galau akut, mungkin perlu menyeret kaki ke kajian. Atau jika kamu introvert, cobalah baca Alquran dan maknanya.
Mari, gunakan otak semaksimal mungkin untuk mengkaji firman-firman-Nya. Agar tidak ada celah untuk memikirkan masalah-masalah yang mengikis semangatmu untuk hidup bahagia dunia dan akhirat. Semoga. (Nailin RA/Penggiat Literasi di Kabupaten Pati)