JAKARTA, Lingkarjateng.id – Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P Edy Wuryanto memberikan respons terkait kehebohan serangga dan ulat sagu yang dijadikan menu dalam program makan bergizi gratis (MBG).
Kehebohan ini bermula ketika Kepala Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengusulkan pemanfaatan serangga sebagai menu MBG. Hal tersebut lantaran di beberapa daerah tertentu ada yang memanfaatkan serangga seperti belalang dan ulat sagu sebagai sumber protein.
Menurut Edy, serangga dan ulat bukanlah hal yang aneh untuk dimakan. Ia bahkan secara blak-blakan sewaktu masih kecil pernah makan gendon, nama lain ulat sagu dalam bahasa Jawa.
“Apakah waktu kecil saya tidak makan serangga? Saya makan kok. Saya makan ulat gendon, itu kalau digoreng proteinnya tinggi,” ucap Edy, saat ditemui di Kompleks Parlemen DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu, 5 Februari 2025.
Namun, jika dihadapkan pada anak-anak generasi sekarang, kata Edy, mungkin orang-orang merasa jijik. Padahal, untuk anak-anak generasi 60-an hingga 90-an di beberapa daerah, mereka pasti pernah makan serangga seperti belalang atau ulat sagu.
“Kalau untuk generasi sekarang, mungkin itu menjijikkan dan bisa menimbulkan persepsi negatif,” ujarnya.
Oleh karena itu, Edy meminta agar BGN menggunakan sumber makanan lokal yang mengandung protein dan menjadi kebiasaan di daerah masing-masing. Ia pun memberikan contoh seperti daun kelor yang di daerah tertentu justru banyak dihindari, padahal sumber proteinnya tinggi.
“Orang bilang daun kelor itu daun ajaib, kandungan proteinnya tinggi, zat besinya, kaliumnya itu power nutrisi. Tapi kalau di daerah Blora, langsung orang-orang bilang ‘mosok kita suruh makan kelor jadi makanan bergizi’. Di sana, orang makan kelor pasti kesaktiannya hilang, dan ini contoh persepsi negatif,” katanya.
“Beda lagi kalau di Palu, kelor di sana menjadi menu makanan favorit untuk acara-acara pernikahan,” tambahnya.
Maka dari itu, Edy menyebut pihak BGN harus bisa memilah mana saja sumber makanan yang memiliki nilai gizi tinggi dan sesuai dengan kearifan lokal.
“Jadi dari contoh-contoh itu, kita harus arif dalam menerapkan soal ini, dan harus sesuai dengan kearifan lokal masing-masing, tidak bisa digeneralisasi,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Sabtu, 25 Januari 2025, Kepala BGN Dadan Hindayana mengungkapkan bahwa potensi alam di daerah masing-masing bisa mendukung jalannya program MBG. Ia kemudian menyebutkan serangga dan ulat sagu berpeluang untuk dijadikan menu MBG di beberapa daerah yang biasa mengonsumsinya.
“Mungkin saja ada satu daerah suka makan serangga, belalang, ulat sagu, bisa jadi bagian protein,” kata Dadan saat hadir dalam acara Rapimnas Pira Gerindra di Hotel Bidakara, Jakarta, dikutip dari ANTARA.
“Itu salah satu contoh ya, kalau ada daerah-daerah tertentu yang terbiasa makan seperti itu, bisa jadi menu di situ,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Dadan menyebutkan dalam pelaksanaan MBG ini tidak memiliki standar nasional untuk menunya. Pihak BGN hanya memberikan instruksi dengan fokus pada komposisi gizi, bukan pada menu.
Setelah pernyataannya soal menu serangga dan ulat menjadi menu MBG, Dadan sempat memberikan klarifikasinya.
“Kami sampaikan ada masyarakat tertentu yang suka itu (serangga dan ulat sagu). Jadi untuk masyarakat yang tidak suka, tidak mungkin menggunakan itu,” tuturnya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 3 Februari 2025.
Ia juga menambahkan dengan memberi contoh daerah penghasil ikan yang tentu akan lebih banyak makan ikan dibandingkan daging sapi atau kambing sebagai sumber protein dalam menu MBG-nya.
“Mungkin ada orang pusing kalau tidak makan ikan dua hari saja, pasti makan ikan lebih banyak, meskipun juga daging sapi nanti akan kami masak sewaktu-waktu,” ucapnya.
“Sama juga dengan karbohidrat, kalau orang sudah terbiasa makan jagung, ya karbohidratnya jagung meskipun nasi mungkin diberikan juga. Tapi di daerah-daerah yang memang tidak terbiasa makan jagung, ya makan nasi,” tambahnya.
Kemudian, Dadan menyatakan bahwa menu makan bergizi gratis akan disesuaikan dengan potensi lokal yang dimiliki masing-masing daerah.
“Nah, isi protein di berbagai daerah sangat tergantung potensi sumber daya lokal dan kesukaan lokal, jangan diartikan lain,” imbuhnya.
Mengenai perbedaan menu di tiap daerah, menurut Dadan akan menjadi pembelajaran bagi siswa tentang keberagaman sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.
“Itu kan keragaman sumber daya lokal yang bagus juga kalau kita mulai terapkan dan memberikan pelajaran kepada anak-anak bahwa keragaman dan kearifan lokal itu baik juga untuk ketahanan pangan di masing-masing daerah,” pungkasnya. (Lingkar Network | Hikmatul Uyun – Lingkarjateng.id)