Jakarta, Lingkarjateng.id — Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) bersama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Lembaga Kajian Strategis PB IKA PMII menggelar diskusi bertajuk “Asta Cita Presiden Prabowo: Sketsa Diplomasi & Pertahanan Nasional dalam Menghadapi Tatanan Dunia Baru” di kampus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kegiatan tersebut menjadi refleksi atas satu tahun pelaksanaan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, khususnya di bidang diplomasi dan pertahanan nasional.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN, Prof. Dr. Muhammad Maksum, menyebutkan bahwa hukum, diplomasi, dan politik memiliki keterkaitan yang erat. Ia menilai kebijakan nasional sering kali menjadi realisasi dari hasil diplomasi global. “Hukum tidak bisa dipisahkan dari politik, yang di dalamnya ada diplomasi. Hukum adalah produk politik. Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Ngasiman Djoyonegoro ini banyak pelajaran yang dapat diambil,” ujarnya.
Penulis buku Dr. Ngasiman Djoyonegoro menjelaskan, kekuatan suatu negara dapat diukur melalui empat instrumen utama: diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi (DIME). “Kerangka inilah yang dapat kita gunakan untuk menganalisis buku ini,” kata Simon, sapaan akrabnya. Ia menambahkan, buku tersebut berisi kumpulan tulisan yang memotret fenomena global secara mendalam dan diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para pembuat kebijakan.
Simon juga menyoroti langkah terukur Presiden Prabowo sejak terpilih pada 2024. Dalam waktu singkat, Prabowo mampu melakukan lawatan ke China dan Amerika Serikat secara berurutan. “Indonesia berhasil masuk ke dalam BRICS+ sekaligus diterima oleh G7, dua kubu yang saat ini tengah berseteru. Ini menunjukkan kemampuan Presiden memainkan politik bebas aktif secara nyata,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Umum PP ISNU Wardi Taufiq menilai forum semacam ini penting di tengah maraknya opini tanpa dasar di media sosial. “Kita berada di tengah matinya kepakaran, di mana sulit membedakan antara pengetahuan dan opini, antara data dan prasangka. Karena itu, diskusi bersama para pakar seperti ini menjadi upaya menghidupkan kembali tradisi berpikir ilmiah,” ungkapnya.
Wardi menegaskan, Asta Cita perlu dimaknai sebagai strategi epistemik untuk memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi global. “Forum seperti ini dapat menjadi bagian dari upaya mengantisipasi masa depan,” tambahnya.
Pakar diplomasi dari President University, Abdul Wahid Maktub, mengingatkan bahwa perubahan tatanan dunia menuntut pendekatan baru dalam geopolitik. “Realitas global sudah berubah, tatanan dunia lama tidak lagi relevan. Samuel P. Huntington saja merevisi teorinya dari the clash of civilisation menjadi the alliance of civilisation,” ujarnya. Ia mencontohkan kesalahan kalkulasi geopolitik yang dilakukan oleh Israel dan Amerika Serikat dalam konflik modern.
Dari sisi pertahanan, pakar intelijen Stepi Anriani menilai kondisi dunia yang tidak pasti justru memperkuat penerapan politik bebas aktif Indonesia. “Presiden Prabowo menunjukkan bahwa di satu sektor kita bisa berbeda pendapat, tetapi di sektor lain tetap bisa bekerja sama, seperti hubungan dengan China,” jelasnya.
Pakar hubungan internasional UIN, Atep Abdurofiq, menyoroti pentingnya pengelolaan sumber daya alam dalam konteks geoekonomi. “Posisi Indonesia sangat strategis dalam memanfaatkan critical minerals dan hilirisasi agar tidak menjadi kutukan sumber daya,” katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Hasanuddin Wahid menyoroti pentingnya keseimbangan antara hard power, soft power, dan smart power. “Industri pertahanan telah dibangun dengan baik, diplomasi politik Presiden juga kuat. Namun kita masih perlu memperkuat smart power agar menjadi bangsa yang disegani,” ujarnya.
Simon menambahkan, sektor informasi juga mengalami kemajuan pesat melalui program transformasi digital nasional. “Percepatan ini tak hanya dalam aplikasi, tetapi juga penguatan SDM, infrastruktur, serta kelembagaan di TNI, Polri, dan intelijen terkait perkembangan dunia siber,” jelasnya.
Sebagai penutup, Staf Ahli KASAL Bidang Keamanan Laut Dwi Sulaksono menekankan pentingnya kesiapan militer dalam menjaga perdamaian. “Kalau kita mau membangun perdamaian, kita harus siap perang. Karena itu, penguatan armada laut dan sistem persenjataan TNI terus dilakukan secara konsisten,” ujarnya. (Lingkarnews Network)


































