Warga Terdampak PLTU Batang Demo di Gedung DPRD Jateng, Ini Tuntutannya

DEMONSTRASI: Aksi demonstrasi digelar oleh warga terdampak pembangunan PLTU Batang di depan Gedung DPRD Jateng, Kamis (30/06). (Wahyu Indriyati/Lingkarjateng.id)

DEMONSTRASI: Aksi demonstrasi digelar oleh warga terdampak pembangunan PLTU Batang di depan Gedung DPRD Jateng, Kamis (30/06). (Wahyu Indriyati/Lingkarjateng.id)

SEMARANG, Lingkarjateng.id – Warga terdampak proyek pembangunan PLTU Batang menggelar aksi damai di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, Kamis (30/06). Aksi tersebut mengusung beberapa tuntutan, di antaranya memperjuangkan keadilan bagi masyarakat Jawa Tengah, memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan dan membela kebenaran bagi kepentingan masyarakat.

Koordinator Lapangan Aksi, Hambali mengatakan, sejarah mencatat bahwa awal-awal kehadiran PLTU Batang pada tahun 2012 yang diusung oleh PT. Bhimasena Power Indonesia (PT. BPI) dengan konsorsium PT. Adaro Power, J-Power dan Itochu telah menciptakan berbagai permasalahan sosial yang dialami masyarakat desa setempat.

Ia menyebut, pendekatan sosial yang diabaikan oleh PT. BPI menyebabkan terjadinya perpecahan di kalangan masyarakat, antara kelompok yang pro dengan kelompok yang kontra dengan adanya kehadiran PLTU Batang.

Kerukunan dan keharmonisan hubungan sosial masyarakat, lanjutnya, seketika hilang dalam kehidupan masyarakat di Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeneng dan Desa Ponowareng. Kondisi tersebut dialami masyarakat dalam waktu lebih dari satu tahun.

“Dalam proses pembebasan lahan milik masyarakat, tidak ada ruang untuk musyawarah dan mufakat yang disediakan oleh PT. BPI. Intimidasi dan paksaan kepada warga pemilik lahan, selalu dijalankan oleh PT. BPI secara door to door, siang malam tak kenal waktu istirahat,” kata Hambali.

Dia mengungkapkan, dalam hal penetapan harga beli lahan milik masyarakat, PT. BPI secara sepihak menetapkan harga sebesar Rp 100 ribu/m2. Penetapan harga beli lahan tersebut, disosialisasikan secara terbuka oleh PT. BPI kepada warga pemilik lahan.

“Iya itu harga final dari PT-nya, 100.000 fiks tanah tapi di lain waktu banyak tanah yang belum dibeli, nah tanah itu dibeli Rp 400.000, nggak adil,” ujar Hambali.

Dia menegaskan, aksi tersebut dilakukan bukan untuk menolak PLTU Batang. Menurutnya, warga tetap mendukung operasional PLTU Batang, hal tersebut merupakan komitmen warga untuk mendukung program pemerintah, menjamin pasokan listrik untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan masyarakat.

Lepi Kardeni, salah satu warga yang ikut audiensi menuturkan, hasil audiensi aksi damai penyampaian aspirasi warga terdampak dari proyek pembangunan PLTU Batang dengan perwakilan DPRD, mendapatkan secercah cahaya untuk warga Batang.

“Ini dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng dan DPRD Provinsi Jateng sangat mengapresiasi. Iya nanti BPI akan diundang biro hukum. Supaya cepat ada titik temu,” ujarnya. (Lingkar Network | Wahyu Indriyati – Koran Lingkar)

Exit mobile version