JEPARA, Lingkarjateng.id – Kasus sengketa lahan di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dengan AHS selaku pemilik lahan nampaknya masih belum menemui titik terang.
Buntut kasus tersebut Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Jepara, Edy Sujatmiko dilaporkan AHS ke Polda Jawa Tengah atas dugaan pemalsuan surat dan atau membuat surat palsu, serta menempatkan keterangan palsu dan atau menggunakan keterangan palsu ke dalam sesuatu akta autentik.
Menurut Pimpinan Kantor Hukum Abdul Ghofur & Partners Law Firm, Abdul Ghofur, S.H. hal itu bisa diselesaikan secara musyawarah antar pihak pemilik lahan yakni AHS dengan Pemkab Jepara yang juga mengklaim sebagai pemilik lahan tersebut.
“Menurut hemat saya masing-masing pihak bisa duduk bermusyawarah untuk mediasi dengan menyertakan bukti keabsahan dokumen masing-masing sehingga ada titik temu permasalahannya,” ujar Abdul Ghofur.
Dalam keterangannya, Pemkab Jepara mengklaim kepemilikan tanah tersebut berdasarkan sertifikat Hak Pakai (HP) Nomor 14/Tubanan seluas 41.430 meter persegi yang dihibahkan oleh PT. CJP pada tanggal 15/4/2015.
Sedangkan AHS mengklaim lahan tersebut berdasarkan bukti Kepemilikan SHM nomor Sertifikat Hak Milik Nomor 454/Desa Tubanan atas nama Sri Wulan dengan luas 20.237 meter persegi.
“Jadi kalau kita bicara mengenai sengketa tanah ‘kan datanya harus valid, baik dari Pemkab ataupun warga. Baru jika musyawarah tidak ada titik temu, maka salah satu pihak bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan sehingga memperoleh kepastian hukum,” sarannya.
Ia berpendapat, tidak tepat jika sebelum ada mediasi atau klarifikasi antara kedua belah pihak, malah langsung memberikan teguran sebagai upaya menekan salah satu pihak.
“Kesannya ‘kan seperti main hakim sendiri dengan menunjukkan kekuatan yang dipandang sebagai sikap arogansi dan intimidasi kepada salah satu pihak,” katanya.
Menurutnya, seharusnya ada mediasi terlebih dahulu antara kedua belah pihak yang bisa diajukan oleh salah satu pihak kepada BPN sebagai mediator atau fasilitator untuk jadi penengah masalah sengketa tersebut.
“Jika dalam mediasi tidak menemui kata sepakat, maka bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk mendapat kepastian hukum terkait kepemilikan tanah tersebut,” terangnya.
Sementara, fakta mengejutkan diungkapkan oleh pihak Badang Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Jepara. Pasalnya, dari hasil liputan Koran Lingkar, kedua sertifikat, baik yang dimiliki AHS maupun yang digenggam Pemkab Jepara sama-sama sah dan legal.
Hal ini diungkapkan oleh Kasi Penetapan Hak dan Pendaftaran (PHP) Kepala Kantor Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Jepara, Radiyanto.
“Dalam sengketa tersebut masing-masing pihak mengklaim kepemilikan tersebut dengan bukti yang dimiliki, Pemkab dengan sertifikat HP Nomor 14 dan AHS dengan sertifikat HM nomor 454,” ungkapnya.
Menurut Radiyanto, kedua sertifikat tersebut sama-sama masih hidup artinya sama-sama sah dan tercatat resmi di BPN, sehingga memang perlu adanya pendalaman asal-usul kepemilikan kedua sertifikat tersebut.
“Secara administrasi dua-duanya masih hidup. Solusinya menempuh upaya hukum kalau dua-duanya tidak bisa dipertemukan dalam mediasi untuk menentukan siapa yang berhak dan berkuatan hukum tetap,” tegasnya.
Ia menerangkan, sebagai dasar terbitnya sebuah sertifikat, baik HM atau HP didasarkan pada surat girik atau Leter C yang dikeluarkan oleh desa, sebagai catatan bahwa Leter C hanya bisa digunakan satu kali dalam penerbitan sertifikat.
“Jadi harus diketahui dulu asal pemecahan hak pakai itu dasarnya dari mana, kalau berasal dari Leter C yang sama, maka perlu dipertanyakan karena penggunaan Leter C hanya bisa dilakukan satu kali setelah diterbitkan (SHM/HP) oleh BPN,” jelasnya.
Pihaknya pun menyarankan agar dilakukan mediasi antara kedua belah pihak untuk penyelesaian kasus sengketa lahan tersebut. BPN Jepara siap menjadi mediator dan fasilitator kedua belah pihak yang bersengketa.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Direktur Koordinasi Supervisi III KPK Bahtiar Ujang Purnama. Pihak KPK juga menyarankan agar dilakukan diskusi bersama antara pihak penggugat dan tergugat untuk mencari solusi bersama.
“Coba undang penggugat untuk berdiskusi, bisa di Provinsi saja. Nanti kami akan hadir mendampingi,” kata Bahtiar Ujang Purnama saat Rapat Koordinasi pada Rabu, 14 September 2022 lalu.
Rapat yang digelar secara daring di Ruang Vidcon Sekretariat Daerah Jepara tersebut dihadiri oleh Penjabat (Pj) Bupati Jepara, Edy Supriyanta, Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Jepara Kompol Berry, Komandan Kodim 0719/Jepara Letkol Inf. Mokhamad Husnur Rofiq, Kepala Kejaksaan Negeri Jepara Muhammad Ichwan, Sekretaris Daerah (Sekda) Jepara Edy Sudjatmiko, serta perwakilan Organisasi Perangkat Daerah terkait.
Dalam rapat tersebut, Pemkab Jepara meminta KPK untuk mendampingi Pemkab terkait sengketa kepemilikan lahan di beberapa fasilitas umum. Utamanya akses jalan baru menuju Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati, di mana pada akses tersebut telah didirikan bangunan tanpa izin yang menjadi sengketa.
Akan tetapi, Sekda Jepara Edy Sujatmiko kekeh agar bangunan permanen yang didirikan AHS di lahan tersebut dibongkar.
“Saya hanya berpikir positif bahwa tanah tersebut telah bersertifikat Hak Pakai Pemkab. Peruntukannya fasilitas umum. Dan secara de facto telah tercatat dan digunakan untuk sungai dan jalan aset BPKAD. Dan mendadak ada orang yang membangun di jalan tersebut. Maka sikap Pemda harus kita tegakkan Perda, yaitu bongkar,” tegas Edy Sujatmiko.
Karena tidak ada titik temu dalam penyelesaian permasalahan tersebut, akhirnya Sekda Edy (Edy Sujatmiko, red) dilaporkan ke Polda Jawa Tengah sebagai tergugat dan telah masuk ke proses penyelidikan. Bahkan demi menuntut keadilan, AHS juga akan berencana membawa kasus ini ke Satgas Mafia Tanah.
Menanggapi hal tersebut Sekda Edy mengatakan tidak masalah.
“Dilaporkan tidak masalah, teguran saya karena demi mempertahankan aset terhadap mafia tanah, jadi yang mafia siapa? Apa nggak terbalik?” tegasnya.
Ia mengaku, hal itu ia lakukan atas nama Pemkab Jepara berdasarkan Hak Pakai (HP) Nomor 14 sebagaimana tercantum dalam surat teguran pertama bahwa Pemda menguasai fisik dan realita sebagai fasum sehingga siapa pun yang mendirikan bangunan di atas tanahnya sendiri harus memiliki surat ijin Pendirian Bangunan Gedung (PGB).
“Saya bertindak atas nama Pemkab Jepara, siapa pun yang mendirikan bangunan harus memiliki ijin. Ini sudah terbit teguran kedua dan proses tetap lanjut,” pungkasnya. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)