Ritual Nyadran di Desa Silurah Batang, Gunungan Hasil Bumi Jadi Rebutan Warga

BEREBUT: Warga Desa Silurah Batang berebut gunungan hasil bumi Ritual Nyadran pada Kamis, 24 November 2022. (Dok. Humas Pemkab Batang/Lingkarjateng.id)

BEREBUT: Warga Desa Silurah Batang berebut gunungan hasil bumi Ritual Nyadran pada Kamis, 24 November 2022. (Dok. Humas Pemkab Batang/Lingkarjateng.id)

BATANG, Lingkarjateng.id – Desa Silurah, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang, Jawa Tengah terkenal dengan kebudayaannya yang masih kental. Sebuah desa yang terletak di antara Gunung Ranggakusuma dan Gunung Kobar itu memiliki warisan yang hingga saat ini terus dijaga dan dilestarikan oleh warga setempat yaitu Nyadran Gunung. Kegiatan tahunan itu selalu ditunggu oleh warga Desa Silurah dengan kirab gunungan hasil bumi hingga memotong kambing kendit.

Alhamdulillah, pada pagi hari ini menjadi bagian nikmat bagi kami semua, bisa menyelenggarakan kegiatan adat nyadran atau sedekah bumi dengan harapan selalu melestarikan budaya dan alam,” kata Kepala Desa Silurah, Suroto saat ditemui usai acara kirab budaya di Desa Silurah, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang pada Kamis, 24 November 2022.

Nyadran ini dilakukan setiap bulan Jumadil Awal tepat pada Jumat Kliwon. Serangkaian kegiatan yang bertema menyatu dengan alam ini dimulai dari kirab hasil bumi, pelepasan burung, penanaman pohon, penyebaran benih ikan, ider-ider desa, potong kambing kendit, slametan dan pentas ronggeng hingga pementasan wayang kulit.

“Untuk hari ini tadi sudah kirab budaya warga berbondong-bondong membawa hasil panen sebagai simbol puji syukur kepada Allah yang akan disajikan pada Jumat, 25 November 2022,” imbuhnya.

Pihaknya menambahkan, pada Jumat 25 November 2022 dilanjutkan nyadran Gunung Ranggakusuma memotong kambing kendit yang nantinya akan dimasak dan disajikan makan bersama ditemani pentas ronggeng.

“Memilih kambing kendit sendiri memang tradisi turun-temurun yang diyakini sebagai alat ritual yang dianggap punya kekuatan akan mau menolong dari hal gaib,” terangnya.

Tradisi secara turun-temurun itu diyakini warga setempat untuk menjauhkan bala, bahkan sebelumnya dikatakan Suroto tradisi itu pernah tidak diselenggarakan lalu terjadi pagebluk di desa.

“Tujuannya selain sebagai wujud syukur kepada alam, doa bersama juga agar dijauhkan bala, sebelumnya sekitar tahun 1990-an pernah tidak digelar dan ternyata terjadi musibah pagebluk, ya kita meminta doa yang terbaik serta untuk melestarikan budaya,” ujarnya. (Lingkar Network | Lingkarjateng.id)

Exit mobile version