JEPARA, Lingkarjateng.id – Polemik sengketa lahan antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dengan AHS mendapat tanggapan dari pihak Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Jepara melalui Kasi Pengendalian dan Penanganan Sengketa (PPS), Yuli Fitrianto pada Rabu, 28 September 2022.
Yuli mengatakan bahwa, kasus sengketa lahan tersebut bukan pertama kalinya muncul ke permukaan. Permasalahan tersebut juga sudah berulang kali di mediasi termasuk mediasi di BPN, tapi ditolak oleh para pihak terutama PT CJP.
“Jadi kita uraikan dari awal, pembebasannya tahun 2011-2012 antara pemilik dengan PT CJP. Kemudian mulai pada tahun 2014-2015, PT CJP dan Bupati selaku pemegang hak ini mendapat somasi, gugatan perdata, pelaporan ke Polda Jawa Tengah,” terang Yuli.
Kronologi Lengkap Kasus Sengketa Lahan Pemkab Jepara vs Warga
Lanjutnya, yang sering dilaporkan ke pihak BPN adalah setelah tahun 2017, terkait penerbitan Hak Pakai pada tahun 2017 oleh LBH Pancasila. Tahun 2020, BPN dipanggil ke Polda untuk memberikan kesaksian. Dilanjutkan rapat di Sekda untuk menyelesaikannya.
“Semua upaya mediasi sudah kami lakukan dan memang mentok, para pihak tidak mau. Termasuk pada tahun 2021, Sri Wulan sudah melaporkan ke Polda Jawa Tengah sebagai upaya hukum lainnya karena mediasi tidak menemui jalan yang baik. Karena tidak cukup bukti kasusnya dihentikan,” paparnya.
Pihaknya menambahkan, kemudian pihak Sri Wulan mengajukan laporan ke Bareskrim. Namun laporan tersebut dikembalikan ke Polda karena satu peristiwa yang sama tidak boleh dilaporkan ke bagian yang berbeda dan sampai sekarang masih dalam upaya penyelidikan.
Untuk persoalan itu, BPN sudah mengikuti termasuk dalam menangani sengketa lahan. Dalam pemeriksaan di Polda Jateng sudah tidak ada masalah dalam penyelidikan.
“Baik pemeriksaan di Polres sampai ke Polda, semua data sudah kami sampaikan dan memang tidak ada masalah,” imbuhnya.
Sedangkan, terkait tidak ada pencoretan dan penulisan pada Leter C sebagaimana yang dimaksud dalam pengajuan Hak Pakai, semua itu ranahnya di desa. Leter C tersebut sebagai data pendukung asal tanah, apakah hak milik adat atau tanah negara.
“Dalam buku C desa ada yang membedakan yaitu, apakah tanah yang dimohonkan sertifikat itu adalah tanah hak milik yasan (adat) atau tanah negara, karena nanti prosesnya berbeda. Kalau milik yasan prosesnya bisa melalui konversi, penegasan hak atau pengakuan, sedangkan jika tanah negara prosesnya melalui SK pemberian hak,” paparnya.
Pihaknya menegaskan, jika BPN Jepara mendapat data, akan dikaji terlebih dahulu dan dikonfirmasikan kepada pihak desa.
“Yang jelas di kami, misal dikasih data ini kita kaji, juga konfirmasi kepada pihak desa dan menguatkannya. Kita tindaklanjuti itu pengajuan perorangan. Sedang terhadap Hak Pakai, kita tidak sampai ke sana. Karena kita cukup dengan akta pelepasan, karena alas hak pelepasan sudah cukup. Nah, monggo dari pihak yang membuat akta pelepasan itu mengacu ke sebelumnya, (alas haknya, Red.) atau tidak,” jelasnya.
Menurutnya, akta pelepasan itu merupakan acuan karena di sana jelas riwayatnya.
“Kalau Hak Pakai ini berdasarkan pelepasan oleh pihak siapa saja, kemudian pelepasan tersebut dibuat oleh siapa, jika subjeknya tanah yasan/adat. Sedangkan jika subjeknya adalah tanah negara, dasar hak pakainya tadi (akta pelepasan, Red.) yang dibuat oleh notaris itu sudah cukup, karena sudah dilepaskan dan menjadi tanah negara,” tandasnya.
Ia menegaskan, harus merujuk proses awal untuk membedakan macam-macam prosesnya, di mana ada hak milik yasan/adat yang prosesnya memakai pengakuan/ konversi/ penegasan atau tanah negara yang prosesnya memakai SK.
“BPN hanya memproses pengajuan Hak Pakai oleh PT CJP karena tanah tersebut sudah dihibahkan ke Pemkab Jepara, sehingga menjadi tanah negara. Jadi kalau ada yang menanyakan proses jual beli atau dokumen pelepasan dari pemilik ke PT CJP, BPN tidak mengetahuinya karena saat pelepasan tersebut BPN tidak dilibatkan,” tegasnya.
Selain itu, ia memaparkan, jika memang sudah dihapus, maka otomatis mencoret.
“Kan memang dihapus atau diajukan kan begitu. Dalam pencoretan dan juga penulisan tahun peralihan Leter C harus melalui sidang oleh Tim Panitia A dan juga pemohon. Dalam sidang tersebut panitia A mengkaji kebenaran asal usul tanah. Tim panitia dari desa kan juga ada, dari pemohon juga diajak untuk mengkaji kebenarannya,” tegasnya.
Ia menambahkan, apakah sudah diajukan atau belum akan sama-sama memberikan masukan terhadap kebenaran pengajuan sertifikat. Jikalau ada gugatan dan keberatan, maka akan ditunda. Begitu pun sebaliknya, jika tidak ada masalah subjek objeknya, maka akan ditindaklanjuti di BPN untuk diproses. Sehingga pencoretan dan pencatatan tahun peralihan ada dalam sidang tersebut.
Yuli menambahkan, Panitia A sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Menteri ATR KBPN Nomor 18 Tahun 2021, Panitia A bertugas pada pemeriksaan tanah untuk mengecek kebenaran formal data fisik dan yuridis terhadap permohonan hak milik HGB dan hak-hak yang baru, termasuk Hak Pakai susunannya terdiri ketua, sekretaris, dan anggota, sedangkan untuk unsur di dalamnya ditunjuk dalam SK Kepala Kantor BPN.
“Kadang ketuanya itu kasi yang membidangi atau mungkin kasi yang lain, tapi dia cukup mengerti proses pendaftaran sertifikat untuk anggota Panitia A termasuk pihak desa. Sedangkan untuk Panitia B anggotanya sampai ke Pemkab melalui dinas-dinas terkait. Jadi pencoretan dan pencatatan tahun peralihan pada Leter C sepenuhnya dilakukan oleh pihak desa atas dasar rekomendasi dari BPN atau pihak pemohon sertifikat,” tandasnya. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)