Menilik Pendapa Pakuwon, Saksi Sejarah Perjanjian Salatiga 1757

CAGAR BUDAYA: Tampak depan bangunan Pendapa Pakuwon di selatan Lapangan Pancasila Salatiga yang kondisinya tak terawat dan sebagian bangunan rusak. (Angga Rosa/Lingkarjateng.id)

CAGAR BUDAYA: Tampak depan bangunan Pendapa Pakuwon di selatan Lapangan Pancasila Salatiga yang kondisinya tak terawat dan sebagian bangunan rusak. (Angga Rosa/Lingkarjateng.id)

SALATIGA, Lingkarjateng.id – Kota Salatiga merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang memiliki banyak nilai sejarah. Salah satunya Pendapa Pakuwon yang berada di selatan Lapangan Pancasila.

Selain Pendapa Pakuwon, terdapat puluhan bangunan tua peninggalan pemerintah kolonial Belanda di kota berhawa sejuk ini. Sebagian dari puluhan bangunan tua itu menjadi saksi bisu perjalanan sejarah yang terjadi di kota ini.

Pendapa Pakuwon yang tepatnya berada di Jalan Brigjen Sudiarto merupakan saksi bisu penandatanganan perjanjian Salatiga antara Pangeran Sambernyowo alias Raden Mas Said dan pemerintah Kolonial Belanda pada 17 Maret 1757 silam. Isi perjanjian tersebut salah satunya adalah untuk memisahkan Surakarta menjadi dua bagian, yakni Kasunanan dan Mangkunegara. 

Perjanjian Salatiga merupakan penyelesaian masalah perebutan kekuasaan yang mengakhiri Kesultanan Mataram. Hamengkubuwono I dan Pakubuwono III melepaskan beberapa wilayahnya untuk Pangeran Sambernyawa. 

Berdasarkan sejarah, Pendapa Pakuwon dulunya merupakan tempat tinggal bupati Salatiga yang pada zaman Kerajaan Mataram disebut akuwu. Sehingga kala itu, Pendapa Pakuwon disebut sebagai palereman akuwu (tempat tinggal bupati).

Sayangnya, bangunan benda cagar budaya (BCB) itu kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga lantaran sebagian besar bangunan status kepemilikannya milik perorangan. 

Semestinya bangunan BCB yang memiliki nilai sejarah seperti Pendapa Pakuwon dipertahankan dan dirawat dengan baik. Namun sekarang kondisinya memprihatinkan lantaran tidak dirawat oleh pemiliknya. Alasan pemilik enggan merawat BCB tersebut karena tidak memiliki biaya untuk perawatan. 

Kondisi terbengkalainya bangunan bersejarah itu mendapat sorotan dari pemerhati benda cagar budaya Salatiga Eddy Supangkat.

Bangunan kuno peninggalan pemerintah kolonial Belanda ini bisa dijadikan modal untuk membangun kota wisata dan budaya. Terlebih, pada zaman penjajahan kolonial Belanda, Salatiga sudah dijadikan kota wisata dan sempat memperoleh julukan de Schoonste Stad van Midden Java (kota terindah di Jawa Tengah).

“Saat itu, Kota Salatiga terkenal sebagai kota yang terindah di Jawa Tengah lantaran keindahan panorama alamnya yang didukung udara sejuk. Tak hanya itu, letak geografis Kota Salatiga juga strategis, yakni berada di tengah jalur utama Semarang – Solo. Kondisi tersebut, sebenarnya bisa diwujudkan kembali di masa sekarang,” ujar Eddy Supangkat, belum lama ini. 

Menurutnya, selama ini Pemerintah Kota Salatiga terkesan kurang memperhatikan keberadaan ratusan bangunan kuno bersejarah yang ada di kota ini, termasuk Pendapa Pakuwon. Minimnya perhatian pemerintah berdampak pada kelestarian benda cagar budaya yang ada di Salatiga. 

Akibatnya, puluhan benda cagar budaya rusak lantaran tak terawat. Bahkan saat ini halaman Pendapa Pakuwon malah digunakan untuk tempat penyimpanan peralatan usaha beberapa pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di Lapangan Pancasila. Ini membuat Pendapa Pakuwon terlihat kumuh.  

“Ini akibat rendahnya perhatian dari pemerintah. Padahal, apabila dirawat dan dikelola dengan baik, Pendapa Pakuwon bisa dijadikan tempat wisata sejarah,” ucapnya. (Lingkar Network | Angga Rosa – Koran Lingkar)

Exit mobile version