KENDAL, Lingkarjateng.id – Budidaya udang saat ini dipandang menjanjikan oleh banyak orang. Hal ini karena udang menjadi salah satu komoditas yang banyak diminati oleh pasar global. Sebagai salah satu eksportir komoditas perikanan, Indonesia cukup berkontribusi dalam pasar udang dunia.
Modal dan biaya produksi tambak udang memang tidak sedikit. Namun, margin keuntungan dari harga jual udang ke pasaran ternyata cukup menjanjikan. Petambak dapat meraup keuntungan minimal 30 persen dari budidaya udang.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Kendal, Joko Suprayoga mengatakan, bahwa intensifikasi atau memutakhirkan penggunaan teknologi intensif dapat melesatkan produktivitas tambak udang yang ada di berbagai kecamatan pesisir Kabupaten Kendal.
“DKP Kendal menyiapkan strategi peningkatan produksi udang nasional yakni melalui intensifikasi teknologi. DKP Kendal juga mendorong tambak tradisional untuk meng-upgrade teknologinya sehingga memiliki produktivitas optimal,” kata Sekretaris DKP Kendal Joko Suprayoga saat ditemui ketika sampling udang vaname Kelompok Budidaya Ikan (Pokdakan) Mino Rejo, Desa Kalirejo, Kecamatan Kangkung, Kabupaten Kendal, pada Rabu, 8 November 2023.
Hal ini, lanjut Joko, sejalan dengan arahan Bupati Kendal Dico M Ganinduto yang tahun 2023 mengusung tagline Kendal Kompetitif, bahwa komoditas udang diharapkan bisa membantu perekonomian Kendal dengan tetap mengacu pada prinsip produksi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
“Harapannya dapat di-upgrade produktivitas tambak tradisional melalui input teknologi, sehingga produktivitas bisa ditingkatkan dari semula per tahun kurang dari 1 ton per hektare, minimal semi intensif dulu yakni per tahun berkisar 10 ton per hektare,” lanjutnya.
Ia menjelaskan, bisnis tambak udang memang cukup menjanjikan, terlebih Kabupaten Kendal masih memiliki wilayah pesisir dengan kualitas air yang memadai.
Udang vaname sebagai varietas unggulan mempunyai kelebihan diantaranya dapat mencapai ukuran besar, dapat tumbuh secepat udang windu (3 gram per minggu), dapat dibudidayakan pada kisaran salinitas yang lebar (0,5- 45 ppt/part per thousand), kebutuhan protein yang lebih rendah dan dapat ditebar dengan kepadatan tinggi hingga lebih dari 150 ekor per meter persegi.
“Budidaya udang vaname ini menurut analisis memang tidak ada yang mengalahkan, sebab harga jual itu 4 kali di atas harga pakan. Namun, memang seiring perjalanannya pembudidaya juga banyak menemui kendala, seperti adanya virus, penyakit, persoalan limbah dan lain-lain,” tuturnya.
Menurut Joko Suprayoga, salah satu penyakit udang yang merebak adalah bintik putih yang menyebabkan tingkat hidup udang turun. Selain itu, penggunaan pakan makin tak efisien, ditandai dengan jumlah pakan yang digunakan tidak sepadan dengan bobot udang yang dihasilkan.
“Nilai konversi pakan yang diberikan terhadap pertumbuhan udang terus meningkat sehingga biaya produksi naik dan menurunkan daya saing udang kita di pasar global,” tambahnya.
Oleh sebab itu, DKP Kendal memprioritaskan pengembangan budi daya udang dengan sistem kluster yang dinilai juga dapat membuat investasi terhadap komoditas tersebut dapat lebih mudah karena terpusat di satu kawasan.
Selain itu, tujuan dari prinsip kluster tersebut adalah untuk meminimalkan kegagalan dan dalam rangka meningkatkan produktivitas namun tetap bersifat ramah lingkungan.
“DKP Kendal akan terus mendorong budi daya udang berkelanjutan dengan konsep klasterisasi seperti yang sudah diterapkan di Kecamatan Kendal, Kangkung, Patebon dan Rowosari. Sistem ini memiliki manfaat mengefisienkan input produksi sehingga akan meningkatkan daya saing harga di pasar. Selain itu keunggulan lainnya adalah dapat meminimalisir terjadinya penyakit serta memudahkan dalam manajemen, transfer teknologi dan peningkatan kelembagaan pembudidayaan yang terlibat,” pungkasnya. (Lingkar Network | Arvian Maulana – Koran Lingkar)