SEMARANG, Lingkarjateng.id – Aksi Kamisan Semarang untuk mengawal Bumi Wadas kembali digelar pada Kamis, 14 Juli 2022. Aksi tersebut untuk menolak pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi pengadaan tanah Desa Wadas tahap 2 guna rencana penambangan batuan andesit.
“Hari ini kami kembali gelar aksi solidaritas di Semarang bersama warga Wadas. Berdasarkan laporan yang saya terima, di sana (Wadas) juga ada aksi serupa hari ini,” ujar Koordinator Lapangan, Ramdan Fitrisal Razak.
Aksi Kamisan Semarang digelar di Tugu Muda Semarang berisikan massa dari berbagai jaringan masyarakat dan mahasiswa. Pemilihan Tugu Muda sebagai lokasi aksi karena mereka anggap tempat tersebut merupakan lokasi yang sakral, sekaligus sebagai pusat episentrum gerakan progresif untuk menyampaikan suara masyarakat.
“Aksi Kamisan ini sudah kesekian kalinya. Cuma kemarin-kemarin kami sempat vakum dan ini mencoba untuk kami angkat kembali (Aksi Kamisan, red),” imbuhnya.
Mereka membawa tiga tuntutan utama, yaitu menolak tambang batuan andesit di Desa Wadas sebagai bentuk memperjuangkan lingkungan dan ruang hidupnya, menuntut pencabutan IPL penambangan batuan andesit di Desa Wadas dan ketiga menuntut dihentikannya segala bentuk tindakan represif dan usaha pertambangan di Desa Wadas.
“Tuntutan kami masih sama, menolak penambangan di Desa Wadas,” tegas Koordinator Aksi.
Sebagai informasi, Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa), menyebutkan bahwa pada tanggal 6 Juli 2022 telah membaca Surat Edaran dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Purworejo Nomor AT.02.02/1535-33.06/VII/2022 tentang pemberitahuan pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi pengadaan tanah Desa Wadas Tahap 2.
Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Selasa, 12 Juli 2022 hingga 15 Juli 2022. Untuk mengawal kegiatan tersebut, ia meyakini akan berpotensi terjadi pengepungan, kekerasan dan penangkapan terhadap warga Desa Wadas yang konsisten menolak rencana pertambangan batuan andesit di desa tersebut.
Desa Wadas sendiri diketahui merupakan desa yang asri dengan hasil alam yang melimpah. Warga desa sangat menjaga kelestarian alamnya hingga kini. Mayoritas mereka bekerja sebagai petani sehingga sangat bergantung pada hasil alam. Wacana penambangan tersebut dinilai menimbulkan permasalahan sosio-ekologi berupa dehumanisasi, serta rusaknya lingkungan akibat tambang.
Menurut Dhanil Al Ghifary yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, menyebutkan kalau warga Wadas bukan menolak bendungan, namun menolak rencana penambangan batuan andesit yang nantinya akan dijadikan material pembangunan bendungan tersebut. (Lingkar Network | Wahyu Indriyati – Koran Lingkar)