JEPARA, Lingkarjateng.id – Pernyataan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara yang yakin bahwa sertifikat Hak Pakai lahan hibah dari PT CJP tidak bermasalah, semakin dikuatkan oleh pernyataan Petinggi Desa Tubanan yang mengatakan bahwa dalam masalah sengketa lahan tidak ada unsur pemalsuan dokumen, melainkan hanya masalah administrasi. Ia mendasarkan pada zaman dulu tidak ada sistem pengadministrasian seperti sekarang.
“Desa itu sebetulnya secara cerita tahu tanah itu sudah dilepaskan dan dikuasai oleh PT CJP, kenapa kok bisa dinyatakan secara cerita? Karena dokumennya itu sama sekali tidak ada di desa, makanya kenapa C tidak bisa dicoret? Sebab kalau belum ada final ‘kan desa tidak berani nyoret,” kata Petinggi Desa Tubanan, Untung Pramono pada Kamis, 29 September 2022.
Ia melanjutkan, hal tersebut berbeda dengan Leter C yang lain yang sudah dicoret karena BPN sudah membuat listing pemberitahuan bahwa Leter C tersebut telah berpindah kepada Leter C yang lain melalui surat pemberitahuan. Sampai ada surat BPN bahwa itu sudah final, maka pihak desa baru berani mencoretnya.
Bantah Tudingan Sertifikat Palsu, Sekda Jepara: Dokumen itu Resmi
“Sebetulnya dari ke tujuh bidang ini (yang dipakai untuk permohonan Hak Pakai 14, Red.) andaikan BPN mengeluarkan list untuk permintaan agar dicoret atau dimatikan C-nya itu sudah selesai,” lanjutnya.
Untung mengaku, pihaknya terkadang disalahkan soal administrasi tanah, karena tanah bidang yang dimaksud (7 bidang) sudah dikuasai PT CJP, akan tetapi harus didukung oleh dokumen. Sementara dokumen perintah untuk mencoret C dari BPN belum muncul, sehingga pihaknya tidak tahu.
“Jadi kami menunggu surat bahwa ini sudah final menjadi Hak Pakai Nomor 14, maka C tersebut (Leter C ketujuh bidang yang menjadi dasar pengajuan Hak Pakai 14) dicoret. Yang lain sudah ada surat itu, namun yang ini (Leter C ketujuh bidang yang menjadi dasar pengajuan Hak Pakai 14) belum ada,” ungkapnya.
Dari pengalamannya selaku petinggi desa saat di persidangan pada kasus lain, ia pernah menanyakan kepada Majelis Hakim terkait surat-menyurat harus dilengkapi dengan dokumen pendukung.
“Hal ini dikarenakan pengajuan sertifikat, benar kita tahu perusahaan itu sudah minta kutipan C juga atas Leter C tersebut untuk mendukung pengajuan Hak Pakai. Akan tetapi, laporan ke kami bahwa Hak Pakai sudah clear yang dibuktikan dengan dokumen itu belum ada, seperti produk akhirnya dan juga surat perintah dari BPN untuk mencoret C tersebut. Jadi kami itu tidak dipersalahkan, ya kalau benar kalau salah?” terangnya.
Tambahnya, meskipun yang berbicara adalah pejabat, akan tetapi pihaknya tak punya rekam jejak.
“Nanti yang kita sampaikan sebagai rekam jejak itu apa? Dan termasuk C itu ‘kan bukan informasi yang dikecualikan di KIP, jadi kita kan harus membuka juga karena ada dokumen pendukung untuk mendapatkan informasi itu,” runtutnya.
Ia mengungkapkan asal muasal ketujuh bidang Leter C yang dijadikan Hak Pakai Nomor 14, bahwa pada tahun 1986, tanah tersebut dijual oleh pemilik atas nama SHM: Sri Wulan kepada sembilan orang yang disaksikan oleh Petinggi yang saat itu menjabat yaitu Kuata, disaksikan almarhum Kaswi yang menjabat carik. Kala itu dilakukan dengan surat jual beli desa yang dipegang masing-masing pihak.
“Dari sembilan tadi, dua di antaranya yang tidak dijual ke PT CJP. Salah satunya sudah disertifikatkan atas nama nama Marinah, Haji Sumartono, dan satunya lagi masih Leter C. Sedangkan tujuh bidang lainnya dilepaskan pemilik lahan masing-masing ke PT CJP tahun 2011, yang salah satu dari ketujuh bidang tadi sudah disertifikatkan Hak Milik. Untuk nama-namanya sudah tercatat di buku besar desa,” sambungnya.
Sehingga yang dilepaskan pemilik lahan ke PT CJP adalah enam Leter C dan satu buah sertifikat Hak Milik (SHM).
Terkait yang ditanyakan AHS mengenai pencoretan Leter C dan SHM yang sudah dimohon Hak Pakai oleh PT CJP pada tahun 2017, sampai saat ini masih menunggu laporan dari pihak terkait, yakni BPN dan PT CJP sebagai pemohon dan penerbit sertifikat Hak Pakai tersebut.
“Kami tidak bisa mencoretnya karena harus ada dasar dari BPN dan juga PT CJP. Selama kami belum menerima laporan dari keduanya, kami tidak diperbolehkan karena itu sebagai dasar riwayat asal-usul tanah dan itu pun harus ada surat resmi dari keduanya,” pungkasnya. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)