JAKARTA, Lingkarjateng.id – BPJS Kesehatan menyatakan ada potensi defisit pada Agustus 2025 jika tidak ada intervensi apapun. Jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai 98 persen penduduk Indonesia. Selain itu, inflasi kesehatan terus naik. Tercatat pada 2023 inflasi medis mencapai 13,6 persen.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto mengatakan, untuk menjaga keberlanjutan program JKN, Edy mengusulkan beberapa hal. Pertama adalah mengendalikan fraud. Sejauh ini, meski angkanya tidak terlalu besar, fraud atau kecurangan yang menyebabkan kerugian masih terjadi. Menurutnya, fraud ini mengurangi efisiensi pembiayaan JKN.
“Selain BPJS Kesehatan membuat ekosistem agar tidak terjadi fraud, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan juga harus berkomitmen,” ungkapnya.
Edy menyatakan bahwa masalah fundamental soal peluang defisit pada BPJS Kesehatan adalah soal iuran. Terakhir, kenaikan iuran dilakukan pada 2020. Memang setelah masa itu, BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit. Apalagi kunjungan ke Faskes juga minim. Namun kini seiring dengan pertambahan peserta, kunjungan ke Faskes juga meningkat.
Legislator dari Dapil Jawa Tengah III itu menilai bahwa ada perubahan di masyarakat yang sudah tidak takut lagi ke Faskes karena sudah ada jaminan kesehatan. “Jadi masyarakat kalau sedikit sakit, ke Faskes. kalau dulu takut karena tidak mampu membayar. Sehingga tidak heran jika beban BPJS Kesehatan juga besar,” kata Edy.
Perpres 64/2020 junto Perpres 75/2019 menjadi landasan hukum kenaikan iuran. Evaluasi iuran itu berdasarkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengamanahkan untuk dilakukan peninjauan iuran secara berkala. Pada Perpres 82/2018 malah jelas disebutkan paling lambat 2 tahun untuk evaluasi iuran JKN. “Secara yuridis memang harus ada kenaikan iuran,” kata Edy.
Alasan lain untuk menaikan iuran adalah kenaikan INA CBGs, kapitasi, dan skrining sesuai Permenkes 3/2023. Dengan tiga komponen ini, pembiayaan JKN semakin meningkat. Dalam hal ini termasuk peningkatan pembiayaan penyakit katastropik yang menyedot 20 persen pembiayaan JKN. Edy menyatakan bahwa pembiayaan penyakit katastropik ini tidak murah.
“Ini jadi satu alasan lagi untuk dilakukan evaluasi iuran kepesertaan JKN,” ucap Edy.
Dia menyadari bahwa kenaikan iuran JKN bagi peserta mandiri merupakan isu sensitif. Perlu kehati-hatian dalam menghitung kenaikan iuran ini.
Edy memberikan saran, sebelum menaikan iuran, layanan kesehatan perlu ditingkatkan. “Ketika masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang bagus, ramah, dan memuaskan, maka kenaikan iuran ini bisa dimaklumi,” tuturnya.
Lalu bagaimana dengan peserta penerima bantuan iuran (PBI)? Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) harus mengkaji. Hasilnya diserahkan kepada pemerintah untuk selanjutnya dijalankan.
“Pihak DJSN harus mau berkomunikasi dengan Komisi IX agar kenaikan iuran peserta PBI dan Mandiri tidak menjadi masalah bagi fiskal pemerintah dan daya beli masyarakat,” ucap Politisi PDI Perjuangan ini.
Yang perlu jadi perhatian juga adalah tunggakan iuran peserta mandiri. Adanya kenaikan bisa jadi momok bagi mereka yang menunggak. “Saya usulkan agar sebelum menaikan iuran, pemerintah harus melakukan relaksasi tunggakan iuran peserta mandiri. Bisa dengan penghapusan untuk mereka yang miskin atau diskon bagi yang mampu,” saran Edy.
Saat ini ada 14 jutaan peserta yang menunggak dan tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan yang aktif.
Selain soal iuran, Edy juga menyoroti ketepatan subsidi. Pemerintah selama ini memberikan subsidi biaya pada PBI. Namun menurut SURVEY KESEHATAN INDONESIA (SKI) 2023, ditemukan 35 persen peserta PBI adalah Pekerja Penerima Upah (PPU).
“Ini fraud. Pemerintah cq Kemensos dan BPJS kesehatan harus mengawasi hal ini sehingga pengusaha membayar iuran untuk PPU sebesar 4 persen dan pekerjanya bayar 1 persen untuk meningkatkan pendapatan iuran JKN,” tegasnya. (Nailin RA / Lingkarjateng.id)