JAKARTA, Lingkarjateng.id – Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P, Edy Wuryanto, memberikan tanggapan terkait kenaikan pajak dan banyaknya efisiensi anggaran demi program makan bergizi gratis (MBG). Total anggaran untuk MBG diketahui mencapai Rp 171 triliun, dari yang sebelumnya hanya Rp 71 triliun untuk tahun 2025.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan alasan yang mendasari kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen adalah untuk mendukung program unggulan Presiden Prabowo Subianto yakni MBG.
“Di samping itu penting juga untuk berbagai program infrastruktur pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan juga program terkait dengan makan bergizi,” katanya.
Selain dari penambahan PPN, Prabowo juga melakukan efisiensi anggaran untuk seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah. Perintah ini diungkapkan dalam bentuk Instruksi Presiden RI nomor 1/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD. Efisiensi anggaran ini pun disetujui melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025.
Dua kebijakan tersebut saat ini menuai polemik dari masyarakat. Hal tersebut juga ditanggapi oleh Edy Wuryanto yang menjadi anggota DPR RI dari dapil Jateng 3 (Kabupaten Blora, Pati, Grobogan, Rembang). Ia menyebut efisiensi anggaran ini dilakukan untuk menghindari perilaku boros dan dananya akan dialihkan untuk hal-hal yang lebih produktif dan bermanfaat.
“Kalau soal efisiensi anggaran dengan program MBG ini sebenarnya tidak berkorelasi langsung. Pasti pemerintah dengan kondisi APBN seperti sekarang, pasti ingin melakukan efisiensi. Kita tahu lah birokrasi kita masih boros,” ucap Edy di Jakarta baru-baru ini.
Lebih lanjut, Edy mengatakan bahwa semua kebijakan yang dibuat tentu sudah dipikirkan secara matang oleh presiden. Namun, anggaran yang dipangkas dinilai terlalu besar dan menurutnya justru membuat banyak masyarakat kaget.
“Ini sebenarnya (efisiensi anggaran) adalah hal yang biasa. Hanya saja, pemotongannya terlalu besar sehingga mengagetkan. Birokrasi sudah dalam fase nyaman, lalu diubah dengan efisiensi, ini unusual. Pasti banyak lah yang berontak,” katanya.
Edy kemudian membandingkan kebiasaan di luar negeri dengan di Indonesia. Menurutnya, di Indonesia jika ada pertemuan pasti akan tersedia konsumsi seperti kopi atau makanan, sementara di luar negeri sama sekali tidak ada.
“Di kita, rapat 6 kali, konsumsi bisa nambah 6 kali juga dan itu tidak efisien. Kalau kamu berkunjung ke luar negeri, jarang lho ditemui ada pertemuan yang di mejanya ada makanan. Kopi sekalipun jarang ditemuin, yang ada paling cuma air putih,” jelasnya.
Sementara itu, mengenai kenaikan PPN menjadi 12 persen, Edy menyebut hal itu kewenangan Menteri Keuangan yang tentunya sudah melakukan kajian dan riset terlebih dulu.
“Soal pajak itu kan kewajiban semua rakyat. Pasti Menkeu juga sudah melakukan kajian dengan regulasi dan payung hukum yang ada. Kalau ini sudah disepakati oleh negara, ya saya pikir sudah jadi hak dan kewajiban warga negara yang harus penuhi itu,” ujar Edy.
Kemudian, agar program MBG ini berhasil dan tidak sia-sia, Edy memberikan sejumlah catatan yang menjadi koreksi di masa depan.
“MBG ini dikelola oleh Badan Gizi Nasional (BGN) yang merupakan badan baru. Karena badan baru, maka resources kantornya belum lengkap, SDM-nya belum lengkap, sementara anggarannya begitu besar. Maka ini akan butuh waktu untuk menata ekosistem,” jelas Edy.
“Kedua, soal skema kebijakan ini formulanya seperti apa, harus dirumuskan terlebih dulu. Harus jadi satu pedoman nasional yang bersifat strategis dan dipenuhi oleh payung hukum, bisa dari instruksi presiden atau perintah presiden, biar bisa menggerakkan semua kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah. Ini supaya BGN punya power untuk mengelaborasi semua policy ini,” pungkasnya. (Lingkar Network | Hikmatul Uyun – Lingkarjateng.id)