SEMARANG, Lingkarjateng.id – Selain pandemi Covid-19 yang melanda khususnya di Kota Semarang, Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang juga menaruh perhatian khusus pada penderita tuberkulosis (TBC) atau yang dikenal dengan TB yang saat ini menjangkit di wilayah Semarang.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Abdul Hakam mengatakan, akan memberikan perhatian khusus kepada penderita penyakit non Covid-19. Dia menjelaskan, sudah dua tahun ini DKK Semarang fokus pada satu penyakit yaitu Covid-19, sehingga kasus TBC sedikit terabaikan, namun bukan berarti untuk penyakit yang lain tidak diperhatikan.
Dirinya berujar, terkait dengan penyakit TBC saat ini akan terus melakukan proses screening sebanyak-banyaknya agar penderita TBC dapat segera terdeteksi dan ditangani. Hakam menyebut, berdasarkan hasil dari proses screening ditemukan ratusan kasus baru.
Pada bulan Januari saja, kasus terkonfirmasi penyakit TBC sebanyak 233 kasus. Kemudian pada bulan Februari terkonfirmasi jumlah kasus 218 orang.
Tim Penggerak PKK Kudus Tingkatkan Peran Kader Cegah TBC
“Kasus sembuhnya saya belum menghitung secara langsung, tetapi kami terus melakukan screening dan pengobatan,” ucapnya saat ditemui di kegiatan expo TBC di Genuk, Kota Semarang.
Berdasarkan data DKK Semarang pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2020 kasus TBC berjumlah 800 pria dan 660 wanita.
Kemudian pada tahun 2021, tercatat pengidap pasien TBC khusus pria berjumlah 593 orang, sedangkan untuk perempuan berjumlah 400 orang. Dengan begitu, Hakam menyebut untuk angka penyakit yang menyerang pernafasan di Kota Semarang ini, dinilai cukup tinggi.
Oleh karena itu, pihaknya akan terus berupaya memperkecil angka penyakit TBC dengan menggandeng beberapa pihak untuk bersama-sama menangani kasus TBC di Kota Semarang.
“Tak hanya dari tenaga kesehatan saja, para kader yang ada juga harus ikut terlibat,” ujarnya.
Taj Yasin Ingin Program Jogo Santri untuk Cegah Epidemi TBC
Namun begitu, Hakam tetap mengimbau kepada masyarakat agar penerapan protokol kesehatan (prokes) tetap ditaati dan dijalankan. Karena menurut Hakam, selain virus dengan memakai masker mampu menangkal bakteri yang masuk ke tubuh melalui mulut.
Hakam mengaku, dalam menangani penderita kasus TBC memang tidak mudah, banyak berbagai permasalahan dalam menangani penderita penyakit tersebut, salah satunya dari pasien putus obat dan tak mau diobati yang bisa ditemukan di lapangan.
“Kami nanti inisiasi para pasien seperti itu dapat di karantina paling tidak selama dua minggu,” ujarnya.
Pada tahun 2030, dia berharap angka eliminasi penyakit TBC mampu diselesaikan sesuai dengan program Kemenkes. Dengan begitu dia bertekad selepas pandemi dikendalikan agar turun level menjadi endemi, sehingga untuk anggaran Covid-19 bisa dialihkan kepada kasus TBC.
“Harapannya kasus terus menurun, dan risiko resistan tidak ada sebelum tahun 2030,” tandasnya. (Lingkar Network | Adimungkas – Koran Lingkar)