Lingkarjateng.id – Setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Peristiwa bersejarah besar bagi bangsa Indonesia ini mengingatkan kembali pertempuran yang terjadi di Kota Surabaya pasca kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Peristiwa bersejarah ini bermula ketika tentara Inggris yang berada di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (A.W.S) Mallaby mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Tentara Inggris itu mendapat tugas dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) untuk melucuti pasukan Jepang dan menyelamatkan para tawanan perang. Namun, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) juga ikut membonceng dan tiba di Surabaya.
Awal mulanya, kedatangan tentara Inggris mendapat sambutan positif dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Brigjen A.W.S Mallaby menghasilkan sejumlah kesepakatan.
Daftar Isi :
Kesepakatan Pemerintah RI dengan Brigjen A.W.S Mallaby
Dikutip dari Buku Sejarah SMP dan MTs yang ditulis oleh Dr. Nana Nurliana Soeyono, MA dan Dra. Sudarini Suhartono, MA, pemerintah RI mengizinkan Inggris memasuki Kota Surabaya setelah adanya kesepakatan, di antaranya:
- Inggris berjanji bahwa tentara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda.
- Kedua belah pihak setuju untuk saling menjaga keamanan dan ketentraman.
- Kontak Biro (Contract Bureau) akan dibentuk untuk menjamin bahwa kerja sama dapat dilaksanakan dengan baik.
- Tentara Inggris hanya akan melucuti senjata tentara Jepang.
Sayangnya, kesepakatan ini diingkari oleh Inggris. Satu peleton dari Field Security Section di bawah komando Kapten Shaw menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan tahanan Belanda pada 26-27 Oktober 1945.
Selanjutnya, mereka menduduki Pelabuhan Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Bank Internatio dan masih banyak lainnya. Hal inilah memicu amarah rakyat Surabaya hingga menyerang pos-pos sekutu.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, pesawat terbang milik Inggris menyebarkan pamflet yang berisi rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata rampasan perang dari Jepang. Namun, Brigjen A.W.S mallaby mengaku tidak tahu-menahu soal penyebaran pamflet tersebut. Hal inilah yang membuat keadaan kian memanas.
Kontak Senjata Pertama
Tak sampai di situ, pada 27 Oktober 2022 sekira pukul 14.00 WIB pemuda Surabaya dan tentara Inggris terjadi kontak senjata. Setelahnya, pertempuran meluas hingga menjadi serangan umum terhadap kedudukan Inggris di seluruh Kota Surabaya selama dua hari.
Kemudian, Pemerintah RI di Kota Surabaya bersama Inggris membentuk Kontak Biro untuk menjaga daerah secara bersama-sama. Anggota Kontak Biro ini menandatangani lokasi-lokasi yang tengah terjadi pertempuran untuk menghentikannya.
Anggota Kontak Biro mendatangi Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah yang mana gedung ini telah diduduki tentara Inggris dan dikepung pemuda Surabaya. Para pemuda Surabaya mendesak pasukan Inggris untuk menyerah, namun A.W.S Mallaby tak mengindahkan permintaan ini hingga berujung pada tindakan yang tak diharapkan.
Bermula dari baku tembak di dalam gedung tersebut, para anggota Kontak Biro mencari tempat perlindungan. Namun, peristiwa ini justru menewaskan perwira tinggi Inggris Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby.
Insiden Bendera di Hotel Yamato
Dikutip dari situs resmi Kemendikbud, gencatan senjata dari pihak Inggris dan Indonesia ditandatangani pada 29 Oktober 1945 dan keadaan berangsur reda. Namun, bentrokan tetap terjadi di Surabaya, terutama di Hotel Yamato.
Saat itu, tentara Belanda mengibarkan bendera Belanda di puncak Hotel Yamato hingga membuat Surabaya memanas.
Perwakilan dari rakyat Surabaya, Residen Soedirman bersama Sidik dan Hariyono bertemu tentara Belanda WVC di Hotel Yamato dan meminta pihak lawan menurunkan bendera. Namun, Belanda menolah dan mengancam dengan pistol hingga menyebabkan perkelahian di lobi hotel. Sejak inilah bentrokan semakin kerap terjadi.
Tuduhan Kematian A.W.S Mallaby
Jenderal Sir Philip Christison menuduh pembunuhan A.W.S Mallaby dilakukan oleh rakyat Surabaya, padahal Kontak Biro mengatakan A.W.S Mallaby tewas akibat kecelakaan.
Mendengar hal itu, Inggris mendatangkan pasukan baru dibawah pimpinan Mayor Jenderal R. C. Mansergh. Kemudian, pada 7 November 1945 Mayjen Mansergh menulis surat kepada Gubernur Jawa Timur yang kala itu adalah RA Soerojo.
Isi suratnya mengungkapkan bahwa gubernur sudah tidak bisa menguasai Kota Surabaya. Lalu, Soerojo membantah tuduhan yang dituangkan dalam surat balasan pada 9 November 1945.
Namun, sekutu mengeluarkan ultimatum meminta seluruh pimpinan dan orang-orang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat-tempat yang ditentukan. Batas waktu ultimatum sekitar pukul 06.00 pada 10 November 1945.
Hal inilah yang membuat rakyat Surabaya marah dan membuat pertahanan di dalam kota dengan dipimpin oleh Sungkono. Mereka meminta masyarakat untuk mempertahankan Kota Surabaya dan tetap menjaga kedaulatan Indonesia.
Bung Tomo menjadi salah satu tokoh yang turut berperan dalam peristiwa Pertempuran Surabaya. Ia membakar semangat juang rakyat Surabaya melalui stasiun radio hingga meletuslah pertempuran 10 November 1945.
Sebanyak 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban dan 150.000 lainnya terpaksa meninggalkan kota tersebut. Sementara dari tentara Inggris sebanyak 1.600 prajurit tewas, hilang dan mengalami luka-luka.
Sejarah Hari Pahlawan
Peristiwa 10 November menjadi sejarah peringatan Hari Pahlawan. Presiden RI, Soekarno kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur.
Salah satu isi Keppresnya yaitu menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional, untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk bangsa dan negara. Sementara Kota Surabaya juga disematkan sebagai Kota Pahlawan akibat pertempuran itu. (Lingkar Network | Jazilatul Khofshoh – Lingkarjateng.id)