Lingkarjateng.id – Pasca muktamar, saya mencoba menyelami samudera kearifan dari sosok Gus Yahya Staquf Bin Almaghfurlah KH. Cholil Bisri, dan I was really amazed (takjub). Saya urai satu per satu gagasan beliau dengan pikiran dan hati yang jernih (qolbun salim), sangat reflektif.
Gus Yahya punya tagline “Menghidupkan Gus Dur”. Sebagai Ulama, tentu saja beliau tau bahwa “Walaa tahsabannaladziina qutiluu fii sabilillahi amwaataa”, atau “walaa taquuluu liman yuqtalu fii sabiilillaahi amwaat”. Jangan kira bahwa orang-orang soleh itu mati, akan tetapi mereka hidup. Gus Yahya pasti paham ini. Tapi barangkali, ia menginginkan hidup yang lebih dari sekadar hidup. Ia menginginkan Gus Dur hidup di hati nahdhiyyin, di tengah maraknya perilaku kita yang sudah banyak kehilangan teladan.
Menghidupkan Gus Dur ia jabarkan kepada sejumlah keinginan-keinginan. Seorang pengamat yang juga dosen saya di Paramadina, A. Khoirul Umam menjelaskan, visi tersebut nanti akan sangat berpengaruh pada corak PBNU ke depan. Ia akan menarik garis tegas mengenai peran NU dalam konteks politik kebangsaan dan politik praktis sebagaimana ajaran Gus Dur. Artinya, garis tegas relasi NU dan politik sebagaimana diamanahkan dalam Khittah NU 1926 akan dijaga kuat. Dengan kata lain, para politisi yang kemarin sorak-sorai dengan terpilihnya Gus Yahya, siap-siap gigit jari. Gus Yahya akan “Extremely Consistent” soal ini.
Mimpi Gus Yahya adalah NU benar-benar menjadi Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah. Organisasi keagamaan-sosial. Ketika musyawarah “Ahlul Halli Wal ‘Aqdi” terjadi, Romo Kiai Miftahul Akhyar sudah memberikan uswah/teladan dengan berkomitmen untuk tidak rangkap jabatan di luar kepengurusan NU. Artinya, hal ini pun akan dilaksanakan Gus Yahya dalam pembentukan kepengurusan nanti. Teman-teman yang kadung punya stempel sebagai pengurus partai politik, akan sangat merepotkan Gus Yahya karena beliau pasti komitmen dengan prinsipnya.
Imajinasi Gus Yahya berikutnya adalah “Governing The NU”. Ini juga keren banget. Gus Yahya berpendapat, sebuah organisasi bisa terjebak ke dalam kejumudan dan tumpul kalau kerjanya cuma ngurusin SK kepengurusan. Dan NU sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah menurut Gus Yahya, cenderung terkungkung pada hal-hal yang menyangkut peribadatan dan dimensi agama sebagai identitas kelompok. Gus Yahya mengkritik gegap gempita sambutan nahdhiyyin terhadap wacana anti-radikalisme yang hari ini menjadi semacam isu utama anak-anak NU. Bahkan menjadi isu utama pula bagi Ansor dan Banser yang dipimpin oleh Sang Adik, Yaqut Cholil Qoumas.
Padahal kata Gus Yahya, sejumlah isu “duniawi” lain justru tak kalah penting. Seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan alam/ekologi, hukum dan korupsi, serta kebangkrutan etika dan moral. Tapi sayangnya isu-isu tersebut nyaris tak mendapatkan perhatian, karena kita sibuk kampanye “radikal-radikul” sambil meneriakkan jargon NKRI.
Terakhir, bersamaan dengan geniune dan orisinalitas gagasan beliau, yang jika dijalankan dengan konsisten akan sangat “impactful” bagi warna NU ke depan, tentu saja Gus Yahya juga perlu sedikit toleh kiri-kanan. Ibarat mengemudi mobil, sesekali perlu ngelirik kaca spion.
Ada satu kelompok yang barangkali Gus Yahya perlu untuk lakukan persuasi; “Bani Alawy”. Sebagai pimpinan organisasi kemasyarakat Islam terbesar di dunia, Gus Yahya dirasa perlu untuk mencoba membangun “heart to heart dialogue” dengan para saadat dan para habaib. Sebab narasi Gus Yahya tentang “Al Asyraf Ats Tsaniyah” kadung ditelan oleh sebagian besar mereka, sehingga menciptakan sentimen khusus terhadap Gus Yahya.
Padahal sebagai santri dan juga putera Kiai, pasti lah Gus Yahya juga sering bolak-balik berjumpa dengan aneka syair maulid yang isinya adalah puja puji kepada Nabi, dan juga anak cucu keturunan Beliau (Shallallaahu ‘alaih). “Ahlu baytil musthafa thuhuri, hum amaanul ardhi faddakhiri”.
Hanya saja, jika jam terbang Gus Yahya selama ini mungkin lebih banyak didedikasikan untuk berdialog dengan para pemuka lintas Agama, maka hari ini ada baiknya juga beliau menyediakan waktu lebih untuk membangun persahabatan lebih luas dengan para Ulama dan Habaib.
Sebab kata Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah; “Annaasu a’daau maa jahilu”. Kerap kali manusia bersikap kontra terhadap sesuatu, semata-mata karena belum mengetahui dan belum berkenalan. Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq. (Khairi Fuady | Lingkarjateng.id)
Mengutip dari Sindonews.com atas izin penulis Khairi Fuady (Anak Muda NU)