Partai Nasdem Atang Irawan Kritisi Sistem Proporsional Tertutup Pemilu 2024

Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Atang Irawan. (Dok. Website Partai Nasdem/Lingkarjateng.id)

Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Atang Irawan. (Dok. Website Partai Nasdem/Lingkarjateng.id)

JAKARTA, Lingkarjateng.id – Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Atang Irawan, mengatakan kekhawatiran menguatnya oligarki partai politik semakin tak terpatahkan dengan mencuatnya isu pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup. 

“Sejarah buram eksistensi parpol yang kerap dipandang hanya elitis, birokratis dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri melalui skema konspirasi konfigurasi kepentingan elit partai, menjadi momok yang menakutkan bagi civil society,” tegas Atang dalam keterangan tertulisnya, pada Sabtu, 31 Desember 2022. 

Lebih kritis lagi, Atang menilai kandidasi dalam sistem elektoral dengan model proporsional tertutup semakin mengaburkan rakyat untuk memilih kandidat-kandidat potensial yang dapat merepresentasikan kepentingan rakyat. Sehingga akselerasi kepentingan rakyat akan terbantahkan dalam ruang gelap partai politik. 

“Memilukan bagi demokrasi ketika rakyat diberikan otoritas untuk menentukan wakilnya namun kemudian dirampas kembali oleh parpol,” katanya.

Sistem elektoral dengan model proporsional tertutup akan semakin menjauhkan artikulasi kepentingan rakyat, bahkan semakin jauhnya wakil dan terwakili. Akibatnya fungsi representasi akan semakin rentan bagi rakyat terhadap wakilnya. Pasalnya, tanpa dipilih oleh rakyat, namun ditetapkan nomor urut terkecil oleh parpol.

Hal yang lebih memprihatinkan lagi, lanjut Atang, jika rekrutmen caleg (calon legislatif) semakin tertutup, tanpa memberikan ruang informasi yang transparan dalam rekrutmen dan seleksi caleg. Padahal dalam Pasal 241 UU Pemilu mensyaratkan seleksi bakal caleg dilaksanakan secara demokratis dan terbuka. 

Maka, sistem proporsional tertutup bukan hanya langkah mundur dalam perjuangan demokrasi. Menurut Atang, sistem itu bahkan menuju titik nadir bagi hak konstitusional rakyat untuk menentukan siapa yang berhak mewakilinya dalam rangka representasi.

Oleh karenanya, Atang mewanti-wanti rendahnya kepercayaan terhadap parpol akan terulang kembali sehingga apatisme dan apolitis bakal bersemi kembali. 

Sebab, dengan sistem proporsional tertutup rakyat tidak pernah tahu siapa yang akan mewakili dirinya. Karena semua menjadi otoritas parpol atau seperti memilih kucing dalam karung. 

Bahkan, mirisnya lagi wakil yang tidak mendapatkan dukungan signifikan dari rakyat dapat melenggang di legislatif hanya karena nomor urutnya lebih kecil daripada suara terbesar. 

“Miris memang. Suara rakyat hanya akan menjadi komoditas partai politik dan dimanipulasi oleh oligarki parpol,” ujar Atang.

Lebih jauh, Atang mengatakan jika proporsional tertutup adalah sebuah reinkarnasi hegemoninya parpol untuk melegitimasi demokrasi.

Mengenai tudingan proporsional terbuka sangat high cost, politisi yang merupakan ahli hukum tata negara ini, mempertanyakan apakah rekrutmen caleg di internal dengan proporsional tertutup tidak memungkinkan terjadinya ruang suap agar mendapatkan nomor urut kecil. 

“Apakah ada jaminan proses kandidasi tidak menjadi benih unggul yang dapat menstimulasi korupsi di kemudian hari? Karena ada kekhawatiran sejak awal,  dalam kandidasi sudah terjadi mahar di internal parpol dalam penentuan nomor urut,” ungkapnya. 

Legal Standing Pemohon Dipertanyakan

Selain itu, Atang juga mempertanyakan legal standing pemohon uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), termasuk soal sistem proporsional terbuka.

“MK sebaiknya menguji betul terkait legal standing pemohon terhadap permohonan pengujian Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu,” ucapnya.

Khususnya terkait kerugian pemohon, karena peserta pemilih pileg bukanlah perorangan melainkan parpol, kecuali untuk pemilihan anggota DPD RI.

Untuk diketahui, pemohon perkara nomor: 114/PUU-XX/2022 terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem); Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok).

Lantas, apakah para pemohon pernah menjadi caleg dengan urutan kecil dalam kapasitas sebagai pengurus partai, namun dikalahkan dengan urutan nomor lebih besar?

“Bahkan, akan menjadi ironis jika pemohon tidak dicalonkan oleh parpolnya dalam kontestasi 2024, sehingga dimana letak legal standingnya para pemohon,” tuntasnya. (Lingkar Network | Lingkarjateng.id)

Exit mobile version