SEMARANG, Lingkarjateng.id – Belasan muda-mudi Komunitas EMPU/The Soeratman Foundation memperagakan busana ramah lingkungan dalam acara Pekan Fesyen Berkelanjutan di Kampung Tambaklorok, Kelurahan Tanjung Emas, Semarang pada Jumat, 19 Agustus 2022.
Peragaan busana juga diikuti kelompok wanita Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) serta Collabox Creative Hub.
Busana yang diperagakan adalah karya Komunitas EMPU yang dirancang oleh Tenesa Querida dan Agustienna Siswanto. Busana dibuat dari bahan-bahan tradisional alam dengan paduan tenun, lurik, dan batik ramah lingkungan.
Koordinator Komunitas EMPU, Leya Cattleya Soeratman mengutarakan bahwa gelaran peragaan busana itu untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI dan Hari Kemanusiaan Dunia yang biasa diperingati pada 19 Agustus. Melalui event tersebut, pihaknya membawa pesan damai melindungi warga atas hak asasinya dan melakukan mitigasi perubahan iklim secara bersama-sama.
“Merupakan gerakan budaya dari artisan fashion berkelanjutan dan perempuan pesisir untuk membangun pemahaman publik tentang perlunya fashion yang ramah lingkungan, yang pada akhirnya melestarikan budaya, mata pencaharian, dan lingkungannya,” ungkapnya.
Pekan Fesyen Berkelanjutan itu, lanjutnya, juga menjadi media untuk meningkatkan kreativitas bagi perempuan pesisir dengan mengenalkan keterampilan baru dalam ranah fashion berkelanjutan, di antaranya membuat pembalut kain dan membuat eco-print.
“Diharapkan dapat meningkatkan akses perempuan pesisir pada pembalut kain yang sehat dan terjangkau serta ramah lingkungan. Kemudian meningkatkan kemampuan perempuan pesisir agar menambah opsi untuk mata pencaharian baru dalam memproduksi eco-print yang ramah lingkungan,” bebernya.
Ia menuturkan pandemi Covid-19 membuat aspek ekonomi banyak berubah pada pola perilaku masyarakat, salah satunya dalam memilih produk fasyen. Berdasarkan penelitian McKinsey, kata dia, menemukan sebanyak 57 persen konsumen mengubah gaya hidup yang cenderung mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Sebanyak 15 persen konsumen berharap dapat membeli produk pakaian yang dianggap ramah lingkungan dan membawa dampak positif bagi lingkungan.
“Apalagi laporan United Nations Environment Programme (UNEP) yang menyatakan bahwa fast fashion adalah penyumbang emisi karbon yang signifikan, yaitu sekitar 8-10 persen, lebih besar dari industri penerbangan dan perkapalan global,” jelasnya.
Sejumlah artisan dari berbagai wilayah Indonesia turut andil dalam peragaan busana tersebut, yaitu Jakarta, Semarang, Ungaran, Yogyakarta, Temanggung, Tuban, Nganjuk, Lombok Timur (NTB) dan Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur) serta Sabu, NTT. Para artisan menampilkan busana dari tekstil tradisional dan eco-fashion serta pelengkap fashion dari Komunitas EMPU.
“Anggota Komunitas EMPUyang berperan aktif dalam peragaan busana ini ada 21,” terangnya.
Bahkan beberapa ibu jamu gendong Komunitas EMPU dan perempuan anggota KPPI juga ikut memeriahkan peragaan busana dengan mengenakan kain dan kebaya.
Sementara itu, perancang busana, Tenessa Querida menuturkan bahwa kegiatan ini juga bertujuan untuk mengajak anak muda agar menggunakan busana dari alam.
Ia menjelaskan, perawatan busana ramah lingkungan tidak begitu rumit yakni hanya menggunakan air dingin dan sabun. Hal itu tidak akan merubah kualitas dan warna dari alam tersebut. “Masih sangat aman digunakan,” imbuhnya. (Lingkar Network | Adimungkas – Koran Lingkar)