Kasus Mafia Tanah di Kabupaten Semarang Diduga Libatkan Notaris, Pelaku Sudah Dilaporkan Polisi

MINTA PENDAMPINGAN: Kuasa hukum korban mafia tanah bersama sejumlah perwakilan warga mendatangi Ketua DPRD Kabupaten Semarang Bondan Marutohening. (Hesty Imaniar/Lingkarjateng.id)

MINTA PENDAMPINGAN: Kuasa hukum korban mafia tanah bersama sejumlah perwakilan warga mendatangi Ketua DPRD Kabupaten Semarang Bondan Marutohening. (Hesty Imaniar/Lingkarjateng.id)

SEMARANG, Lingkarjateng.id – Terduga pelaku mafia tanah di Desa Candigaron, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang telah dilaporkan ke pihak kepolisian. Kuasa Hukum korban, Iwan Susanto mengatakan pihaknya akan mengawal kasus ini hingga tuntas.

“Kasus ini telah kami adukan ke Polres Semarang serta melakukan pengecekan langsung ke BPN Kabupaten Semarang. Karena tidak hanya Edi dan Dawam (korban) saja, tapi masih banyak warga lainnya yang menjadi korban namun belum mengadukan permasalahan ini,” sebutnya.

Iwan membeberkan, jumlah korban yang diduga telah ditipu oleh NS jumlahnya cukup banyak. Rata-rata mereka meminjam uang kepada NS dengan jaminan sertifikat tanah.

“Dari cerita atau keterangan para warga atau korban ini memang meminjam uang kepada NS, dan sempat dipertemukan juga dengan oknum notaris di Kabupaten Semarang. Dan mereka mengaku dimintai tanda tangan. Dari mereka pula, tidak tahu maksud untuk bertandatangan dihadapan notaris ini. Ternyata, sekarang justru muncul masalah hilangnya sertifikat tanah yang menjadi agunan atau pinjaman kepada NS,” ujarnya.

Dari permasalahan tersebut, lanjutnya, patut diduga ada keterlibatan oknum notaris itu.

“Untuk nama notaris, sementara belum kami sebutkan. Intinya, warga semua ini menjadi korban mafia tanah dan kami siap untuk mengawal hingga tuntas permasalahan warga ini hingga tanah milik mereka kembali,” tandasnya.

Sebelumnya, banyak warga Desa Candigaron, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang yang resah karena sertifikat tanah yang dijadikan jaminan utang telah dibalik nama.

Edi Juwandi Yanto, salah satu warga menyampaikan, kasus ini bermula saat para korban meminjam uang kepada seseorang yang berinisial NS.

“Dia memiliki villa di Sumowono, tapi domisili di Kota Semarang. Besaran pinjaman tiap warga berbeda-beda, mulai dari Rp 30 juta, dan yang paling banyak yang saya tahu ada yang mencapai Rp 250 juta,” katanya saat dihubungi, Rabu, 26 Juli 2023.

Sementara, dirinya meminjam uang ke NS sebesar Rp 250 juta yang dilakukannya pada 25 April 2018, dengan jaminan berupa sertifikat tanah.

“Masa pinjam satu tahun, dan bisa diperpanjang. Jadi saya jatuh tempo pada 25 April 2019,” jelasnya.

Masalah mulai muncul saat dirinya berniat melunasi utang. Ternyata NS tidak bisa dihubungi.

“Saya berniat melunasi utang Rp 250 juta menjadi Rp 400 juta pada 15 hari sebelum jatuh tempo. Tapi ternyata NS tersebut sulit dihubungi. Kalau merespon alasannya pasti ke luar kota. Jadi tidak pernah bertemu, dan hal ini membuat saya merasa aneh, karena biasanya yang utang dikejar-kejar. Tapi kita yang mau membayar, malah yang mengejar dan mencari kepastiannya,” beber Edi.

Menurutnya, masalah ini tidak hanya dialami oleh dirinya. Bahkan, persoalan ini sudah dilaporkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Semarang.

“Kalau yang utang itu puluhan orang, tapi ini yang mengadu ke DPRD ada 8 warga. Karena sertifikatnya sudah dibalik nama,” imbuhnya.

Ia mengetahui sertifikatnya telah dibalik nama setelah mengeceknya di BPN Kabupaten Semarang.

“Kita kaget, kok dibalik nama, padahal itu jaminan utang, bukan jual beli. Tanah saya seluas 3.900 meter persegi, kalau dijual sampai Rp 1,5 miliar harusnya, lah ini malah sesuai nominal utang saya ke NS,” kata Edi.

Ia pun berharap, setelah kasus ini diadukan ke DPRD bakal ada solusi dan pendampingan.

“Terus terang, kami berharap ada peran serta dari DPRD dalam kami memerjuangkan hak saya ini, karena ini untuk jaminan, dan belum jatuh tempo tanah saya sudah dibalik nama,” ujarnya. (Lingkar Network | Hesty Imaniar – Lingkarjateng.id)

Exit mobile version