PATI, Lingkarjateng.id – Penanggungjawab tambang galian C di persawahan Kecamatan Pucakwangi, Kabupaten Pati, Sunar mengaku sudah menyetujui hasil mediasi yang dilakukan antara pihak warga Dukuh Dayu, Desa Tanjung Sekar, Kecamatan Pucakwangi, Kabupaten Pati dengan pihaknya selaku penambang.
“Hasil kesepakatan, tadi kita diberi waktu 5 hari untuk menyelesaikan lahan yang belum rampung. Kalau itu ditinggal ‘kan kasihan petaninya juga. Kan menggunung-gunung. Terus untuk menghindari debu, besok kita langsung standby ‘kan air untuk menyirami debu,” terang Sunar saat dijumpai pada Senin, 21 Agustus 2023.
Dari pihak penambang, Sunar menyebut sudah menyiapkan air dan peralatan untuk penyemprotan debu setiap kali dibutuhkan.
“Kalau panas seperti ini kita lakukan pagi dan siang. Sudah kita siapkan selang, sudah beli, di situ ‘kan ada sumur,” imbuhnya.
Kemudian untuk perizinan tambang, pihaknya menyampaikan, dikarenakan lokasi pertambangan adalah area persawahan warga, maka proses perizinan sulit dilakukan.
“Kita cuma pamit, karena persawahan ‘kan sulit. Belum memenuhi kriteria izin,” jelasnya.
Di sisi lain, pihak petani mengaku pengerukan sawah miliknya atas inisiatif pribadi. Informasi tersebut disampaikan oleh dua petani asal Desa Sokopuluhan, Kecamatan Pucakwangi pada Senin, 21 Agustus 2023.
Lokasi area galian C tersebut berbatasan dengan Desa Tanjung Sekar tepatnya Dukuh Dayu. Sebagai sawah tadah hujan, para petani hanya mengandalkan air hujan untuk mengairi tanamannya.
Timbulkan Polusi, Warga Tuntut Aktivitas Galian C di Pucakwangi Pati Ditutup dalam 5 Hari
Dengan kondisi tersebut, menimbulkan permasalahan tersendiri karena kondisi tanah persawahan yang dibuat terasering mengakibatkan aliran air hujan tidak merata. Beberapa sawah yang letaknya paling atas meminta sawahnya dilakukan pengerukan agar mendapat aliran air yang sama dengan sawah yang ada bawahnya.
Oleh karena itu, penambangan tanah di Desa Sokopuluhan dilakukan. Namun, dengan adanya penambangan tersebut, justru berdampak negatif bagi warga yang tinggal di dekat lokasi tambang. Pasalnya akibat aktivitas tambang tersebut, debu-debu beterbangan ke rumah warga Dukuh Dayu, Desa Tanjungsekar.
Salah satu petani yang meminta sawahnya untuk dikeruk, Rasimun (63) mengatakan, pihaknya meminta pengerukan dilakukan terhadap sawah miliknya agar bisa mendapatkan aliran air hujan. Selain itu, posisi sawah miliknya tidak rata sehingga butuh pengerukan untuk meratakan.
“Soalnya tanah saya itu tadah hujan. Jadi kalau kanan kiri dikeruk, saya itu tidak panen. Itu masalahnya, saya suruh ngeruk ‘kan biar dapat air. Susah memang, tadah hujan, apalagi sawah saya pinggiran ‘kan. Tidak ada tampungan dari atas. Aliran air, saya ‘kan nomer 3 dari perbatasan desa, makanya saya keruk,” ujar Rasimun.
Lebih lanjut, Rasimun mengatakan bahwa aktivitas tambang galian C tersebut sudah berlangsung sejak dua minggu lalu.
“Soalnya tengah-tengah kan dikeruk, jadi saya ikut, sudah dua mingguan ini,” lanjut petani asal Desa Sokopuluhan tersebut.
Senada dengan hal tersebut, salah satu petani yang sawahnya dijadikan lokasi pertambangan, Warimin (61) menambahkan, pihaknya mengeruk tanah sawah beserta lahan pohon bambu miliknya agar posisi tanah di sawahnya sama rata dengan sawah di sekitarnya.
“Istilahnya ada bambu saya bongkar. Karena kalau tidak dibongkar dikhawatirkan merusak kanan kiri, karena di sebelahnya itu orang Dayu, Tanjung Sekar. Kalau tidak dibongkar merusak rumah juga. Sebelah itu ada tanah desa sedikit, saya ratakan dengan tanah saya,” tandas Warimin.
Ironisnya, akibat keinginan petani untuk meratakan sawahnya, justru menimbulkan masalah baru dengan warga Dukuh Dayu yang akhirnya berbondong-bondong ke lokasi pengerukan dan meminta seluruh aktivitas galian C di sana ditutup. (Lingkar Network | Setyo Nugroho – Koran Lingkar)