JAKARTA, Lingkarjateng.id – RUU Kesehatan sebagai inisiatif DPR RI memiliki tujuan untuk transformasi kesehatan demi memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat. Hal ini dimulai dari pendidikan dokter hingga faktor-faktor yang mendukung layanan kesehatan. Aspirasi masyarakat pun terus dijaring oleh panitia kerja (Panja) RUU Kesehatan dari Komisi IX DPR RI.
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menyatakan bahwa perlu diakui bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia tidak merata. Bagi masyarakat di tempat yang jauh dari perkotaan, untuk mendapatkan akses kesehatan memerlukan waktu, tenaga, dan materi yang ekstra. Edy mencontohkan sering dijumpai pemberitaan kesulitan akses kesehatan yang akhirnya mengancam nyawa masyarakat.
“Seperti kasus ibu hamil yang ditandu 17 jam melewati 80 kilometer perjalanan di Luwu Utara pada Maret lalu. Ibu dan janin yang dikandungnya akhirnya meninggal dunia,” ujar Edy.
Politisi PDI Perjuangan itu mengungkapkan bahwa pengadaan layanan kesehatan di sebuah wilayah tidak bisa hanya alat atau sumber daya manusia (SDM) kesehatannya saja. Edy mengatakan bahwa pengadaan layanan kesehatan itu harus satu paket antara alat, SDM Kesehatan yang terampil, standar operasional (SOP), dan kebijakan pendukung lainnya.
“Bahkan dalam sebuah SDM kesehatan, idealnya tidak hanya satu dokter datang lalu masalah selesai. Dibutuhkan tim. Contohnya untuk tindakan bedah, tidak hanya dokter spesialis bedah. Ada dokter anastesi. Ada juga perawat yang mengerti SOP di kamar operasi,” ucapnya.
Tolak Pasal 154 RUU Kesehatan, Serikat Buruh Rokok Kudus akan Demo DPR RI
Untuk itu, menurut legislator dari Dapil Jawa Tengah III ini, perlu ada pembenahan dan penyelarasan untuk menyelesaikan masalah ini. Misalnya pada pendidikan dokter spesialis. Pada RUU Keseahatan Pasal 183 memberikan opsi pendidikan dokter spesialis bisa dilakukan di rumah sakit atau hospital based.
“Dengan adanya pendidikan dokter spesialis di rumah sakit, maka lebih banyak dokter spesialis yang bisa dididik. Apalagi di daerah yang tidak ada center pendidikan spesialis,” tuturnya.
Untuk kualitasnya, rumah sakit yang menyelengarakan pendidikan dokter spesialis bisa bekerjasama dengan universitas yang menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis. Bisa juga secara mandiri asal sudah pernah bekerjasama untuk penyelenggaraan dokter spesialis, setidaknya lima tahun. Berbagai syarat lain juga harus dipenuhi oleh rumah sakit. Pada pasal lain, ada aturan lanjutnya soal pendidikan dokter spesialis ini, yakni pada pagian pengadaan tenaga medis dan tenaga kesehatan.
“Di sini ada kolaborasi antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun agar tidak tumpang tindih, untuk penyelenggaraan pendidikan tenaga medis dan kesehatan di atur dalam satu undang-undang. Agar rujukannya satu dan ini jadi lebih simple,” terangnya yang juga sebagai Anggota Panja RUU Kesehatan Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Dia mengingatkan, sebelum menambah pusat pendidikan untuk tenaga medis dan kesehatan, harus ada peta persebaran yang jelas. Selain itu kolaborasi data yang dimiliki organisasi profesi, konsil, dan pemerintah harus jalan agar tahu jumlah tenaga kesehatan dan medis yang sudah ada dan dibutuhkan.
“Libatkan juga pemerintah daerahnya. Mereka membutuhkan berapa SDM kesehatan dan jenisnya apa saja. Lalu apa saja hak nakes yang akan diberikan. Termasuk alat kesehatan apa yang sudah siap,” pintanya.
Edy menyatakan jika aturan ini perlu dimasukan dalam RUU Kesehatan terkait pengadaan tenaga kesehatan dan medis. Untuk itu ia meminta agar dalam penyelenggaraan layanan kesehatan tidak ada ego sektoral.
“Sudut pandangnya adalah untuk memberikan layanan kesehatan optimal, mudah, dan terjangkau bagi masyarakat,” ucapnya.
Disamping itu, alasan lainnya karena RUU Kesehatan akan dirasakan oleh masyarakat sehingga aspirasi pun terus dijaring. (Lingkar Network | Lingkarjateng.id)