Disdik Usul Penerapan 5 Hari Sekolah, Pemkot Salatiga Sebut Perlu Dikaji Dulu

DISKUSI: Pj Wali Kota Salatiga Sinoeng N Rachmadi (tengah) bersama Kepala Dinas Pendidikan Nunuk Dartini (kanan) saat mendiskusikan usulan lima hari sekolah di DPRD Salatiga. (Istimewa/Lingkarjateng.id)

DISKUSI: Pj Wali Kota Salatiga Sinoeng N Rachmadi (tengah) bersama Kepala Dinas Pendidikan Nunuk Dartini (kanan) saat mendiskusikan usulan lima hari sekolah di DPRD Salatiga. (Istimewa/Lingkarjateng.id)

SALATIGA, Lingkarjateng.id Kepala Dinas Pendidikan Kota Salatiga, Nunuk Dartini, menilai lima hari sekolah lebih efektif dan efisien dalam proses belajar mengajar. Pasalnya, murid merasa lebih bisa memaksimalkan masa pembelajaran dan waktu berkumpul dengan keluarga lebih optimal.

“Menurut saya lima hari sekolah lebih efektif karena anak didik merasa lebih bisa memaksimalkan masa pembelajaran dan memiliki family time yang lebih longgar,” ucapnya, pada Jumat, 28 Juli 2023.

Pihaknya mengatakan, berdasarkan pengalaman 30 sekolah tingkat dasar swasta yang sudah menerapkan lima hari sekolah, proses belajar mengajar lebih efesien. Karena itu, Dinas Pendidikan mengusulkan penerapan lima hari sekolah di SD dan SMP negeri.

Usulan lima hari sekolah sudah disampaikan kepada Penjabat Wali Kota Salatiga dan dibahas bersama dalam Focus Group Discussion (FGD) yang menghadirkan narasumber dari Ketua Dewan Pengawas Pendidikan. Diskusi dilakukan sebagai tindak lanjut hasil audisensi para guru, wali murid dan komite sekolah terkait wacana lima hari sekolah.

“Hasil dari FGD, yang mau melaksanakan lima hari sekolah dipersilahkan. Yang tetap dengan enam hari sekolah juga tidak apa-apa. Hasil itu yang akan kita laporkan sekaligus mohon petunjuk dari Pak Pj Wali Kota. Secara umum, peserta FGD mendukung kebijakan lima hari sekolah,” ucapnya.

Sementara itu, Penjabat (Pj) Wali Kota Salatiga Sinoeng N. Rachmadi menyampaikan, dirinya sudah melihat banyak contoh penerapan lima hari sekolah. Tetapi menurutnya, masih perlu mengakomodir penggalian ide, gagasan dan sudut pandang. Dengan demikian, kebijakan yang akan diambil nantinya tidak menimbulkan keraguan dan ketidaknyamanan pada salah satu sisi, baik orang tua, siswa maupun guru.

“Kalau, toh, iya, banyak yang sudah kita ajak bicara. Kalau, toh, tidak, enggak apa-apa, kita sudah pada on the right track,” ungkapnya.

Karena satuan pendidikan juga bagian dari perangkat Pemerintah Daerah (Pemda), maka kebijakan yang diambil tentu akan membawa konsekuensi terhadap jam kerja.

“Saya mohon maaf jika perjalanan ini nanti dari hulu hingga hilir memakan waktu. Tapi itulah filosofi Jawa ‘alon-alon waton kelakon’. Kelakon itu ada dua, bisa jadi iya atau tidak. Tapi apapun keputusannya, kita sudah sesuai dengan regulasi dan proses yang benar,” pungkasnya. (Lingkar Network | Angga Rosa – Koran Lingkar)

Exit mobile version