JEPARA, Lingkarjateng.id – Sejumlah pihak meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara transparan buka data riwayat tanah sengketa ke publik. Pasalnya, apabila PT CJP menolak mediasi, maka Pemkab selaku pihak yang saat ini menguasai tanah dengan Hak Pakai Nomor 14 tidak serta merta mengikuti langkah PT CJP.
Sesuai Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.
Karena itu, buka riwayat data tanah dinilai sejumlah pihak merupakan solusi untuk mengatasi polemik sengketa tanah yang berlarut-larut.
PT. CJP Tolak Mediasi Terkait Kasus Sengketa Lahan Warga vs Pemkab Jepara
Hal ini sebagaimana pesan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jepara, Junarso. Ia mengatakan, penyelesaian masalah tanah tersebut harus menggunakan cara yang baik agar tidak berlarut-larut.
“Kalau ada sengketa warga dengan pemerintah, harus diselesaikan dengan cara yang lebih baik, kalau memang tidak ada titik temu, di mana kita hidup di negara hukum, ya kita selesaikan secara ketentuan hukum yang berlaku,” katanya.
Ia pun berharap masalah sengketa lahan tersebut dapat diselesaikan objektif dan bijaksana sebagaimana aturan dan ketentuan hukum yang berlaku.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Kawali Jepara, Tri Hutomo. Pihaknya menyoroti dasar peraturan yang digunakan Pemkab Jepara pada surat teguran ketiga, yakni, sesuai ketentuan Pasal 42 PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jo Pasal 296 Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang menyebutkan Pemkab Jepara berkewajiban melakukan pengamanan fisik, pengaman barang milik daerah meliputi administrasi dan hukum, berdasarkan sertifikat Hak Pakai Nomor 14 tanah yang Saudara dirikan bangunan tersebut adalah milik Pemkab Jepara.
“Di sini jelas Pemkab Jepara tidak mengetahui bahwa PP Nomor 27 Tahun 2014 sudah direvisi oleh Pemerintah dengan PP Nomor 28 tahun 2020. Di mana Pasal 42 yang ada di dalam PP tersebut (PP Nomor 27 Tahun 2014) juga sudah ada penambahan dan revisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah,” ungkap Tri.
Tri mengatakan, dalam PP Nomor 28 Tahun 2020 dalam pasal 42 ayat 2 sebagaimana yang dimaksud sebagai dasar pemberian surat teguran ketiga (22 September 2022) terkait pengamanan fisik, administrasi dan hukum dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “pengamanan administrasi” antara lain melakukan pengadministrasian dokumen kepemilikan tidak hanya berupa sertifikat tanah, melainkan pula dokumen bukti perolehan, pembayaran, serta Berita Acara Pengukuran atas Barang Milik Negara.
“Kemudian, yang dimaksud dengan ‘pengamanan fisik’ antara lain melakukan pemagaran terhadap Barang Milik Negara atas tanah kosong yang belum/akan dimanfaatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘pengamanan hukum’ antara lain melaksanakan penanganan perkara secara optimal di setiap tingkat peradilan, dalam hal terdapat gugatan atas Barang Milik Negara,” jelasnya.
Dalam permasalahan ini, ia menyarankan Pemkab Jepara terbuka dalam memberikan informasi kepada publik terkait dokumen bukti perolehan, pembayaran, serta Berita Acara Pengukuran atas Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2020.
“Di sini yang perlu ditekankan adalah keterbukaan informasi seperti yang diamanatkan dalam PP Nomor 28 Tahun 2020,” tandasnya.
Tak jauh berbeda, keterbukaan data riwayat tanah ini penting untuk dibuka dalam satu forum mediasi juga dikemukakan oleh Pimpinan Kantor Hukum Abdul Ghofur & Partners Law Firm, Abdul Ghofur, S.H.
Menurutnya, permasalahan yang ada bisa diselesaikan secara musyawarah antar pihak pemilik lahan yakni AHS dengan Pemkab Jepara yang juga mengklaim sebagai pemilik lahan tersebut.
“Menurut hemat saya, masing-masing pihak bisa duduk bermusyawarah untuk mediasi dengan menyertakan bukti keabsahan dokumen masing-masing sehingga ada titik temu permasalahannya,” ujar Abdul Ghofur.
Dalam keterangannya, Pemkab Jepara mengklaim kepemilikan tanah tersebut berdasarkan sertifikat Hak Pakai (HP) Nomor 14/Tubanan seluas 41.430 meter persegi yang dihibahkan oleh PT. CJP pada tanggal 15/4/2015.
Sedangkan AHS mengklaim lahan tersebut berdasarkan bukti Kepemilikan SHM nomor Sertifikat Hak Milik Nomor 454/Desa Tubanan atas nama Sri Wulan dengan luas 20.237 meter persegi.
“Jadi kalau kita bicara mengenai sengketa tanah ‘kan datanya harus valid, baik dari Pemkab ataupun warga. Baru jika musyawarah tidak ada titik temu, maka salah satu pihak bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan sehingga memperoleh kepastian hukum,” sarannya.
Menurutnya, tidak tepat jika sebelum ada mediasi atau klarifikasi antara kedua belah pihak, malah langsung memberikan teguran sebagai upaya menekan salah satu pihak yakni warga.
“Kesannya ‘kan seperti main hakim sendiri dengan menunjukkan kekuatan yang dipandang sebagai sikap arogansi dan intimidasi kepada salah satu pihak,” ungkapnya. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)