JAKARTA, Lingkarjateng.id – Gerakan Indonesia Optimis (GIO) memasuki usianya yang keenam pada 26 Oktober 2024. Dipelopori oleh Ngasiman Djoyonegoro, seorang cendekiawan muda di bidang intelijen, pertahanan dan keamanan, GIO telah menciptakan momentum untuk membalikkan narasi pesimisme yang muncul menjelang Pilpres pada 2019.
“Saat itu, narasi Indonesia akan bubar pada 2030. Kami merasa narasi itu akan memperburuk psikologi masyarakat. Karenanya, perlu ada wacana penyeimbang. Lalu kita kembangkan Gerakan Indonesia Optimis,” kata Ngasiman Djoyonegoro di Jakarta pada Sabtu, 26 Oktober 2024.
Lebih lanjut, pria yang akrab dipanggil Simon itu menjelaskan bahwa modalitas dasar bangsa ini sudah kuat. Sumber daya manusia (SDM) unggul dan sumber daya alam (SDA) Indonesia melimpah. Kinerja pemerintah dalam mengembangkan fondasi pembangunan tak kalah serius.
“Modalitas inilah yang perlu dijadikan pijakan untuk memperkuat narasi optimisme di antara kehidupan masyarakat,” kata Simon.
Upaya membangun optimisme itu salah satu dengan menginventarisasi modalitas yang didokumentasikan dalam buku “Indonesia Optimis.”
“Syukurlah saat ini situasi telah banyak berubah. Presiden Prabowo dengan Kabinet Merah Putih, saya kira memberikan perspektif optimisme dalam menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Merah putih menggambarkan karakter nasionalisme, patriotik dan pengabdian kepada bangsa dan negara,” kata Simon.
Kegiatan Hari Ulang Tahun (HUT) Gerakan Indonesia Optimis ke-6 bertepatan dengan hari terakhir Retreat Magelang yang diikuti oleh seluruh jajaran kabinet baru Presiden Prabowo. Kegiatan itu dinilai sejumlah pihak sangat penting sebagai upaya untuk menyatukan langkah, hati, dan pikiran jajaran Kabinet Merah Putih sebelum bekerja.
Simon mengapresiasi kegiatan Retreat Magelang oleh Presiden Prabowo tersebut. Karena optimisme dapat diraih dengan semangat kebersamaan, dedikasi, dan kesetiaan mutlak kepada bangsa dan negara, sebagaimana tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan tersebut.
“Karakter merah putih adalah karakter yang tanggap (responsif, cerdas), tanggon (tangguh), trengginas (lincah), setia kepada bangsa dan negara, tak gentar terhadap tekanan apapun, dan kuat sehingga harus mulai disaturasakan di antara para menteri yang akan mengurus negeri ini,” kata Simon.
“Pada HUT GIO ke-6 ini kita berupaya untuk menyatukan rasa sehingga ada keterhubungan antara rasa yang dibangun dalam momentum Retreat Magelang dengan rasa yang dibangun oleh rakyat pada malam ini. Jika pemimpin dan rakyat telah berada dalam satu rasa, kesuksesan Indonesia Emas 2045 bukan hal yang sulit untuk diraih,” kata Simon.
Sementara itu, Okki Tirto, akademisi yang juga pemerhati kebudayaan pada kesempatan HUT GIO ke-6 tersebut menyampaikan tentang pentingnya optimisme dalam konteks membangun budaya bangsa.
“Budaya Indonesia sebagai bangsa sulit untuk dirumuskan karena banyaknya suku bangsa. Tapi itu dapat dicirikan dalam tiga hal: peci hitam, gotong royong, dan bahasa Indonesia,” kata Okki.
Lebih lanjut, Okki menjelaskan bahwa pemimpin dan rakyat haruslah dapat membedakan antara budaya bangsa dengan negara.
“Budaya bangsa kita perlu dirumuskan kembali sebagai roots and routes (akar dan rute). Berdasarkan kesepakatan bersama para pemimpin bangsa,” kata Okki.
“Karenanya, tema ‘Membangun Karakter Merah Putih untuk Kesuksesan Indonesia Emas 2045’ merupakan upaya untuk membangun kekayaan perspektif kebudayaan dalam kerangka optimisme akan masa depan,” kata Okki.
Turut hadir pada acara tersebut yaitu aktifis 98 Bang Abdul Rozak (Bang Jack) dan kawan-kawan, Kiai Ahyad Alfidai (Sekjen PB MDHW), dan para aktifis OKP, serta mahasiswa. (Lingkar Network | HMS – Lingkarjateng.id)