SEMARANG, Lingkarjateng.id – Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (PETANI) menyoroti masalah kelangkaan pupuk subsidi yang disebutkan Kementerian Pertanian (Kementan). Pasalnya, masalah pupuk subsidi disinyalir bersumber pada konflik kepentingan.
Ketua Umum PETANI, Satrio Damardjati mengatakan, isu naik turunnya harga pupuk subsidi karena ada konflik kepentingan. “Masalah pupuk subsidi ini ‘kan, selalu saja isunya naik. Sebenarnya ini memiliki konflik kepentingan,” kata Satrio melalui sambungan telepon, Kamis (10/2).
Satrio mencontohkan, misal Kemenpan memiliki anak yang menjabat di Komisaris PT Pupuk Indonesia. Hal ini mengakibatkan adanya conflict of interest.
“PT Pupuk Indonesia kan, holdingnya pupuk. Jadi kan, di antara regulasi dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ada conflict of interest lah,” sebut dia.
Harga Pupuk Naik, Petani Kendal Tercekik
Kendati demikian, Satrio tidak menampik jika harga pupuk mengalami kenaikan. Namun, HET (Harga Eceran Tertinggi) tersebut dinilai masih taraf aman.
“Jadi respons kalangan petani sebenarnya fifty-fifty (50-50). Ada yang mengatakan keberatan karena susah mendapat, tapi jika dapat ya beli juga. Ada juga yang tidak keberatan karena mereka sudah mendapatkan melalui RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Jadi tergantung kita melihat dari sisi kepentingan saja,” jelas dia.
Lebih lanjut, jika berbicara pupuk di Jawa Tengah, memang di salah satu musim tanam akan ada yang mengatakan harga naik atau langka. Hal ini karena pengaruh masa pandemi yang masih menjadi momok bagi masyarakat sampai saat ini.
Bupati Blora Minta TNI Kawal Distribusi Pupuk
“Kemudian kalau berbicara dampak harga naik memang ada. Dampak yang didapat lebih ke harga produksi yang naik. Mengalami kenaikannya kisaran 10 sampai 15 persen,” imbuh dia.
Satrio berharap, ke depan jangan sampai ada pejabat dan pemangku kepentingan terikat satu keluarga. Hal ini untuk mencegah adanya konflik kepentingan.
“Harapannya kalau ada pejabat yang menjabat pemangku kepentingan terkait jangan ada keluarga atau bahkan bisa dibilang oligarki,” pungkas dia. (Lingkar Network | Adhik Kurniawan – Koran Lingkar)