Ombudsman Jateng Temukan 9 Potensi Maladministrasi Dokumen Nelayan

NELAYAN TRADISIONAL

BERLAYAR: Para nelayan tradional siap-siap akan melaut, baru-baru ini. (Dinda Rahmasari / Lingkarjateng.id)

SEMARANG, Lingkarjateng.id – Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah menemukan 9 potensi maladministrasi dalam Tata Kelola Kelengkapan Dokumen Nelayan Kecil dan Tradisional di Jawa Tengah. Hal itu terkait penerbitan dokumen seperti Kartu Kusuka, pas (izin) kapal/Pas Kecil dan Tanda Daftar Kapal Perikanan (TDKP).

Terhitung sejak November 2021, Ombudsman telah melakukan kajian cepat di 7 wilayah Jawa Tengah. Mulai dari Kota Semarang, Pekalongan, Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pati.

Hasilnya, potensi maladminitrasi ditemukan dalam tiga instansi. Yakni Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelatbuhan (KSOP), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng melihat, masih ada diskoneksi pekerjaan antara petugas pelabuhan, DPMPTSP dengan DKP.

“Sama-sama kita berkerja tapi kita tidak bekerja sama, tapi kaitan satu sama lainnya yang masih menjadi upaya kita ke depan. Intergrasi vertikal maupun horizontal antara pusat dan daerah antar kementerian/lembaga,” katanya di Semarang, Senin (6/12).

Robert memaparkan, ada 5 potensi maladministrasi di wilayah kerja pelabuhan dan nelayan.

Nahas, 9 Perahu Nelayan Rembang Digulung Ombak

Pertama, permohonan penerbitan Pas Kecil/E-Pas Kecil dan pengukuhan Pas Kecil/E-Pas Kecil dilakukan lebih dari dua hari kerja di KSOP di wilayah Jawa Tengah. Kedua, layanan KSOP belum terintergrasi dengan baik sehingga terjadi penundaan berlarut dalam memberikan layanan pemohon/pengguna layanan.

“Ketiga, ketiadaan satu data/integrasi data antara Dinas Kelautan Dan Perikan dengan Kantor Kesyahbanan dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) berpotensi maladministrasi dan membuat bantuan tidak tersalurkan atau tidak tepat sasaran,” ucapnya.

Keempat, belum terintergrasinya pemenuhan persyaratan kelengkapan dokumen nelayan kecil dan tradisional antar instansi melalui sistem Online Single Submission (OSS).

Terakhir, potensi maladministrasi lainnya masuk ke dalam kategori khusus. Potensi maladministrasi ditemukan dalam penyelenggaran dan pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Jawa Tengah.

Misalnya saja, tidak tersedianya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kota Semarang. Lalu tidak adanya fasilitas toilet yang bersih, adanya pungutan liar pada fasilitas toilet sebesar Rp 2.000 hingga Rp 5.000. Serta adanya pungutan liar atas jasa sewa keranjang ikan yang digunakan nelayan untuk mengakut ikan dari TPI sebesar Rp 5.000 hingga Rp 15.000/keranjang ikan.

“Lalu belum terselenggaranya standar pelayanan publik seperti informasi yang jelas terkait tugas dan fungsi Kantor Pelabuhan Perikanan Pantai kepada masyarakat,” ucapnya.

Sementara Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah Farida dalam perkara ini meminta kepada para Kepala Daerah untuk segera melakukan perbaikan.

“Hambatan itu ada di tingkat regulasi dan kewenangan. Kepada Bapak/Ibu kepala daerah mohon agar kewenangan pusat dan daerah untuk segera disinkronkan,” ucap Farida.

Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah memberikan waktu selama 30 hari kepada tiga dinas terkait untuk segera melaksanakan saran perbaikan sejak diterimanya Laporan Hasil Analisis ini. “Ombudsman Perwakilan Provinsi Jawa Tengah akan melakukan monitoring terhadap perkembangan saran perbaikan tersebut berdasarkan Pasal 36 Ayat (6) Peraturan Ombudsman RI Nomor 41 Tahun 20219 tentang Tata Cara Pencegahan Maladministrasi Penyelenggara Pelayanan Publik,” ucap Farida. (Lingkar Network | Koran Lingkar Jateng)

Exit mobile version