SEMARANG, Lingkarjateng.id – Pengamat Transportasi Nasional, Djoko Setijowarno mengimbau masyarakat mewaspadai potensi kecelakaan yang terjadi di perlintasan kereta api menjelang libur Hari Natal 2023 dan Tahun Baru 2024 (Nataru). Hal ini karena mobilitas masyarakat semakin bertambah.
“Ini termasuk yang melintasi di perlintasan sebidang antara jalan rel dan jalan raya. Banyak daerah di Jawa Tengah yang memiliki perlintasan sebidang tersebut. Salah satunya juga ada di wilayah Kabupaten Semarang. Ini harus ditingkatkan kewaspadaan masyarakat saat melintasinya, utamanya yang ada di jalan desa,” ungkap saat dihubungi, Rabu, 13 Desember 2023.
Ia menyebutkan, berdasarkan data dari Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, pergerakan masyarakat baru-baru ini tercatat sudah ada 39,83 persen atau sebanyak 107,63 juta orang.
“Diketahui ada 45,29 persen itu merencanakan bepergian ke lokasi-lokasi wisata, dengan tujuan daerah yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta. Oleh karena mobilitas yang cukup tinggi jelang akhir tahun ini idealnya menutup perlintasan sebidang itu, khususnya yang tak berizin,” terangnya.
Menurutnya, jika kecelakaan maut di perlintasan sebidang terus berulang, maka pemerintah harus menutup perlintasan sebidang tersebut. Hal ini sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 94.
“Jika jalan nasional, wewenangnya ada di pemerintah pusat, begitupun jalan provinsi dan kabupaten. Dan seharusnya, pemerintah pusat dan daerah idealnya menutup perlintasan sebidang yang rawan kecelakaan,” jelasnya.
Namun, katanya, penutupan perlintasan sebidang itu harus dibarengi dengan pemerintah daerah menyediakan jalan layang. Hal ini supaya pengendara tidak melintasi jalur tersebut lagi.
“Di satu sisi, untuk pengguna jalan juga harus waspada. Ini ada aturannya yakni UU Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana mewajibkan pengendara berhenti ketika sinyal kereta sudah berbunyi dan palang pintu kereta api tertutup, dan harusnya ada penjaganya,” jelasnya.
Menurutnya, selama ini banyak peristiwa kecelakaan di perlintasan sebidang terjadi pada malam hari. Kebanyakan terjadi di pedesaan dan perlintasan tidak dijaga 24 jam.
“Contohnya yang baik ya harus dijaga 24 jam. Jika tidak bisa 24 jam maka sebaiknya jalur perlintasan sebidang itu ditutup dengan memasang palang penutup,” paparnya. (Lingkar Network | Hesty Imaniar – Lingkarjateng.id)