PATI, Lingkarjateng.id – Tradisi kupatan yang digelar seminggu setelah hari raya Idulfitri masih lekat di masyarakat Kabupaten Pati. Salah satunya di Desa Srimulyo, Kecamatan Winong.
Warga Desa Srimulyo, Diah Nur Sa’adah (25), menjelaskan pada lebaran ketupat tahun ini pihaknya hanya membuat sedikit ketupat karena bahan bakunya mahal.
Diah hanya membuat ketupat sebanyak 30 buah dan lepet 20 buah. Kemudian, ditambah sejumlah lontong agar bisa dinikmati dengan lebih banyak orang.
“Sedikit, karena janur mahal, yang penting cukup untuk kondangan. Beli 50 janur untuk 2 asahan,” ujarnya, Rabu, 17 April 2024.
Setelah jamaah sholat subuh, ia membawa ketupat tersebut ke masjid bersama warga yang lain untuk didoakan lalu disantap bersama. Sebagian ketupat juga dibagikan kepada kerabat-kerabat.
“Tidak, paling untuk mertua saya dan kerabat,” ujarnya.
Tradisi kupatan juga dilakukan warga Desa Pulorejo, Kecamatan Winong. Salah satunya Sukartini (31), dirinya membuat 50 ketupat dan 30 lepet. Ketupat dan lepet buatannya itu tidak hanya dikonsumsi keluarganya tetapi juga dibagikan kepada warga sekitar.
“Memang setelah lebaran warga selalu membuat ketupat untuk dibagikan kepada tetangga,” jelasnya.
Menurut Sukartini, tradisi yang dilakoninya itu sudah diajarkan orang tuanya sedari dulu bahkan turun temurun dari nenek moyang.
“Memang sudah tradisi orang Islam, setelah lebaran dari dulu seperti ini,” jelasnya.
Sebagai informasi, tradisi kupatan berkaitan dengan sosok penyebar agama Islam di Jawa, Sunan Kalijaga. Berbagi ketupat dengan warga merupakan contoh dakwah Sunan Kalijaga yang mengajak masyarakat untuk bersyukur, bersedekah, dan bersilaturahmi. (Lingkar Network | Setyo Nugroho – Lingkarjateng.id)