PATI, Lingkarjateng.id – Polemik perusahaan tambang PT Kapur Rembang Indonesia (KRI) yang berkonflik dengan warga Dukuh Kembang, Desa Jurangjero, Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, masih terus bergulir. Di tingkat kepolisian, kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. Masalah ini menjadi sorotan banyak pihak karena melibatkan warga desa dan juga pekerja asing.
Melalui acara “Bedah Opini with Nailin RA” yang disiarkan secara live dari Studio Lingkar TV, Pati, Jawa Tengah, pada Jumat, 22 November 2024, Pemred Koran Lingkar Nailin RA membedah permasalahan yang melibatkan warga Blora dan PT KRI Rembang, bersama Kapolres Rembang AKBP Suryadi dan praktisi hukum Izzudin Arsalan. Acara tersebut mengusung tema “Bentrok Warga Blora dengan TKA, Ada Apa dengan PT KRI Rembang?”.
Dalam diskusi tersebut, Kapolres Rembang AKBP Suryadi menyampaikan kondisi di wilayah setempat sudah kondusif. Pihaknya juga menyatakan telah melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak untuk menangani konflik sosial tersebut.
“Alhamdulillah sudah kondusif, artinya para stakeholder kami ajak komunikasi. Kepala desa, Forkopimcam, Forkopimda, bahkan saya komunikasi langsung dengan Kapolres Blora dan Bupati Blora berkaitan dengan kejadian ini, untuk saling menahan diri,” ujarnya.
Sementara terkait dengan upaya perlindungan bagi korban pekerja asing, AKBP Suryadi menyebut bahwa pihaknya juga sudah menjalin komunikasi.
“Sudah kita arahkan dan kita bantu ke rumah sakit yang dekat dengan kota. Kemudian kita komunikasi dengan WNA, dan kemarin kita bertemu dalam kondisi mereka sehat. Kecuali satu orang yang masih di rumah sakit karena kakinya patah,” ucapnya.
Lebih lanjut, Kapolres Rembang AKBP Suryadi berharap PT KRI yang belum mengantongi izin untuk selalu berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan stakeholder terkait. Pihaknya pun saat ini masih mendalami dugaan pelanggaran yang dilakukan PT KRI, utamanya terkait pencemaran udara yang dikeluhkan warga.
Kepada warga di sekitar pabrik, Kapolres Rembang mengimbau supaya tidak main hakim sendiri. Apabila mendapati pencemaran lingkungan yang diduga akibat aktivitas perusahaan, maka harus dilaporkan kepada pihak-pihak berwajib seperti kepala desa, camat, hingga kapolsek.
“Jangan coba-coba, pada masa uji coba sudah memproduksi. Itu juga sedang kami (lakukan) penyelidikan tentang usaha tersebut. Karena ada informasi yang masuk kepada kami tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT KRI,” imbuhnya.
Di kesempatan yang sama, praktisi hukum Izzudin Arsalan menyoroti tindakan main hakim sendiri yang dilakukan warga Blora kepada PT KRI.
“Apa pun tindakan main hakim sendiri itu tidak dibenarkan secara hukum. Walaupun kita berbicara tentang hak-hak warga secara universal. Warga itu dilindungi oleh Pasal 28H Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat,” tuturnya.
Kendati demikian, ia menyampaikan bahwa warga dapat menyalurkan penolakan terhadap aktivitas perusahaan yang mencemari lingkungan dengan prosedur hukum yang baik.
“Misalnya mau melakukan penolakan secara demokrasi, mereka bisa melakukan demonstrasi penolakan di kantor Dinas Lingkungan Hidup. Yang kedua, warga bisa melaporkan aktivitas PT KRI ke Kementerian Lingkungan Hidup melalui Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” jelasnya.
Kemudian, lanjut dia, kalaupun memang PT KRI sudah mengantongi izin, namun dalam aktivitas produksi melakukan pencemaran lingkungan, maka warga tetap bisa melakukan langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas izin yang telah dikeluarkan.
Karena itu, ia berharap tidak ada lagi aksi main hakim, yang justru akan merugikan diri sendiri.
“Kita hidup di negara hukum, jadi mari patuhi hukum, dan gunakan hukum untuk memperjuangkan hak atas lingkungan yang bersih dan nyaman,” ujarnya. (Lingkar Network | Ika Tamara Dewi – Lingkarjateng.id)