KENDAL, Lingkarjateng.id – Selain menjadi sentra penghasil padi, jagung dan tembakau, Kabupaten Kendal juga menjadi salah satu wilayah penyangga komoditas bawang merah di Jawa Tengah.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertan) Kabupaten Kendal, Pandu Rapriat Ronggojati, mengatakan bahwa Kabupaten Kendal telah diakui Kementerian Pertanian sebagai penghasil bawang merah. Menurutnya, untuk dapat menjadi penyangga bawang merah membutuhkan proses yang panjang.
“Ini juga salah satu dari adanya pengaruh ekspansi dari petani bawang merah Brebes yang banyak mengembangkan usahanya di daerah timur termasuk di Kendal. Kemudian para petani belajar menanam juga dan setelah dirasa menguntungkan juga akhirnya para petani mulai meniru menanam bawang merah. Makanya sekarang kita menjadi sentra penyangga bawang merah di Jawa Tengah,” terang Pandu pada Kamis, 2 November 2023.
Pandu mengungkapkan, perkembangan komoditas bawang merah di Kabupaten Kendal dari tahun ke tahun cenderung fluktuatif. Hal tersebut juga dipicu dari harga panen sebelumnya yang cenderung naik atau turun.
“Petani biasanya melihat panen tahun-tahun sebelumnya. Harganya seperti apa, kalau harganya menguntungkan pasti luasannya akan bertambah. Tapi kalau tahun sebelumnya ada kerugian yang cukup banyak akhirnya menjadikan trauma, kemudian petani ganti komoditas,” bebernya.
Setidaknya ada lima kecamatan yang menjadi sentra budidaya bawang merah di Kabupaten Kendal. Yakni kecamatan Ringinarum, Gemuh, Ngampel, Pegandon Weleri.
Namun, kata Pandu, sentra budidaya bawang merah diperkirakan akan menyebar di Kecamatan Kangkung dan Rowosari.
“Pilihan komoditas itu tergantung petani, kita tidak bisa mengatur petani harus menanam apa. Tetapi kita memang mengarahkan sesuai pemetaan berdasarkan potensi wilayah yang ada kepada petani,” jelasnya.
Pandu menerangkan, budidaya bawang merah merupakan salah satu komoditas yang memerlukan biaya cukup besar. Menurutnya, para petani membutuhkan biaya mencapai sekitar Rp 200 juta untuk lahan seluas satu hektare.
“Untuk benih saja per hektare butuh sekitra 1,5 ton, dengan harga benih rata-rata per kilonya Rp 40 ribu. Belum lagi nanti biaya olah tanah, kebutuhan pupuk atau pestisida. Sehingga per hektare rata-rata bisa mencapai Rp 150 juta hingga Rp 200 juta,” sambungnya.
Sehingga melihat tingginya biaya produksi budi daya bawang merah, Pandu berharap, petani bawang merah dapat belajar terkait efisiensi dalam menekan biaya produksi bawang merah.
“Nah, melihat kondisi ini mestinya kita harus belajar banyak efisiensi. Misalnya dari benih, saat panen itu kita harus menyisihkan sebagian sebagai benih, tidak dijual semua. Kemudian pemberian pupuk tidak harus 100 persen beli. Toh, hampir di setiap kesempatan kita sampaikan bisa memakai pupuk organik yang alami yang ada disekitar kita,” paparnya.
Selain itu dirinya juga berharap para petani dapat membentuk atau bergabung dengan lembaga yang nantinya dapat mewadahi aspirasi para petani.
Senada, Ketua Paguyuban Petani Bawang Merah Mukti Lestari Kabupaten Kendal, Samsudin, menyampaikan kendala yang seringkali dihadapi para petani bawang merah yakni tingginya modal yang diperlukan saat membudidayakan bawa merah.
“Kendala yang jelas dihadapi itu, ya, modalnya harus banyak. Kemudian dalam perawatannya kita harus selalu mengamati, mengawasi untuk hamanya. Hama kalau kita lengah sedikit saja itu keberhasilan panennya kecil,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, rata-rata hasil panen bawang merah mencapai 9-10 ton per hektare. Sementara untuk harga tergantung jumlah hasil panen dipasaran.
“Usia tanam rata-rata 60 hari, cuma perlakuan untuk musim penghujan itu bisa 57 hari. Kalau musim kemarau bisa sekitar 63 hari. Kalau modal bisa tergantung harga bibit,” ujar Samsudin. (Lingkar Network | Arvian Maulana – Koran Lingkar)