SEMARANG, Lingkarjateng.id – Nasib malang tengah menimpa petani sayur di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Saat musim panen raya, harga sayur di pasaran justru anjlok. Hal ini membuat petani merugi karena tidak bisa menutup modal.
Salah satu petani sayuran dari Kopeng, Kecamatan Getasan, Alif Subroto (33) mengaku harga sayuran yang ditanamnya saat ini turun drastis.
“Harga sayuran seperti kol, cabai rawit, tomat, sawi slobor semuanya turun drastis, anjlok harganya berbeda dengan harga sebelumnya, pusing saya,” katanya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Rabu siang, 26 Juli 2023.
Ia pun tidak mengetahui pasti penyebab turunya harga sejumlah sayuran tersebut.
“Padahal stoknya melimpah, sayurannya bagus-bagus dari hasil panen ini, semuanya subur, tapi permintaannya memang turun. Jadi harganya murah sekali. Saya jadi bingung ini kenapa, rugi kalau begini saya,” ungkapnya.
Menurut Alif, musim panen yang bersamaan di berbagai daerah menyebabkan stok berlimpah.
“Sebab memang bukan hanya dari Kopeng yang sedang panen raya, tetapi daerah lain seperti Magelang, Temanggung, Wonosobo, Boyolali, bahkan luar provinsi seperti Malang juga panen sayuran,” bebernya.
Alif menyebut, saat ini harga di tingkat petani, untuk kol sebesar Rp 800 per kilogram. Padahal, normalnya harganya sekira Rp 2.500 per kilogram.
Komoditas lainnya seperti sawi slobor yang biasanya Rp 2.000 per kilogram, kini hanya Rp 1.000 per kilogram. Sedangkan tomat dan kentang juga turun harganya karena tanaman rusak yang disebabkan faktor cuaca.
“Semua sayuran meski dalam kondisi kemarau seperti ini, sebenarnya tetap subur karena ini kemarau awal. Tanah masih basah. Bahkan sesekali hujan sehingga tidak kering sama sekali. Hanya, tomat, dan kentang yang kurang bagus karena cuaca sering mendung mengakibatkan embun yang merusak tanaman itu,” katanya.
Alif mengakui kondisi ini menyebabkan petani menderita. Sebab, biaya perawatan hingga panen tidak sebanding dengan harga jual hasil panen.
“Terlebih pupuk kimia dan pestisida semakin mahal, otomatis biaya perawatan tanaman menjadi tinggi,’ imbuhnya.
Dia berharap, ada solusi dari pemerintah untuk menangani masalah ini. Karena, jika tidak segera ditangani akan membuat petani semakin menderita.
“Mungkin pemerintah bisa memberi solusi, misalnya bisa menyalurkan sayuran kami ini ke luar Jawa. Kalau berkutat di Jawa, stok sayuran saat ini melimpah sehingga menyebabkan harga turun,” paparnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Pangan (Dispertanikap) Kabupaten Semarang Moh Edy Sukarno mengatakan, terkait harga jual seharusnya petani bisa memperkirakannya sendiri.
“Sebab penghasil sayuran bukan hanya dari Kabupaten Semarang saja, tetapi daerah lain juga menghasilkan sayuran. Dan jika komoditi sama dan panen bersamaan di berbagai daerah tentu harga akan drop. Ini perlu diantisipasi petani,” katanya.
Mengenai distribusi pupuk, Edy mengatakan bahwa di Kabupaten Semarang terbilang lancar. Hanya pupuk bersubsidi yang jumlahnya terbatas.
“Mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian, terkait penggunaan pupuk bersubsidi, disebutkan, hanya 9 komoditas yang boleh menggunakan pupuk bersubsidi itu. Yakni padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, dan cabe. Kemudian tebu, kopi, dan kakao. Sehingga daerah tertentu, sentra sayuran seperti Bandungan dan Getasan tidak mendapatkan alokasi subsidi pupuk tersebut,” jelasnya.
Edy berharap petani menggunakan pupuk organik dan tidak bergantung pada pupuk bersubsidi.
“Potensi pupuk organik di Kabupaten Semarang ini sangat besar. Yaitu kotoran hewan ternak yang difermentasi menjadi pupuk, jadi bisa dimanfaatkan dengan baik,” tandasnya. (Lingkar Network | Hesty Imaniar – Lingkarjateng.id)