Lingkarjateng.id – Perang terus berkecamuk, hempasan peluru silih berganti lewat di antara dua kubu. Semua peristiwa itu terekam jelas dalam kamera sang juru foto pertempuran, Abdul Wahab Saleh. Abdul Wahab Saleh merupakan pewarta foto dari Kantor Berita Indonesia (Domei), atau yang saat ini dikenal sebagai Antara.
Ia menjadi sosok penting dalam masa pertempuran kala itu, terutama salah satu hasil fotonya yang ikonik, perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato atau sekarang Hotel Majapahit.
Sayangnya, nama Abdul Wahab tak begitu dikenal generasi muda. Oleh karena itu, kisahnya kembali diangkat pada teatrikal perobekan bendera di Surabaya tahun 2024 ini.
Tanpa kepiawaian dan keberaniannya, foto-foto perobekan Bendera Belanda di hotel yang kini bernama Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan itu, tidak akan pernah terpublikasi.
Abdul Wahab Saleh lahir di Kota Pahlawan, Surabaya pada 23 April 1923. Ia berasal dari keluarga santri yang tinggal di kawasan Ampel, Surabaya. Setelah berhasil lulus dari pesantren, Saleh kemudian meniti karir menjadi guru madrasah.
Pada masa-masa itulah, ia kemudian mulai belajar memotret secara otodidak.
Saleh gemar kecil dikenal karena sering membaca. Ia juga punya keinginan dan bercita-cita menjadi jurnalis.
Cita-citanya perlahan tercapai saat ia diterima sebagai juru foto di kantor berita Domei. Di situlah Saleh bertemu Sutomo, atau akrab dipanggil Bung Tomo dan menjadi rekan kerjanya.
Surabaya, pascaperistiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam kondisi aman dan tenang. Tak ada gejolak berarti pada minggu-minggu pertama setelah kemerdekaan.
Pada pertengahan September 1945, suasana berubah mencekam. Di Jalan Tunjungan tempat Abdul Wahab Saleh berkumpul bersama jurnalis lainnya, dilanda kerusuhan hebat.
Hari itu, Abdul Wahab mengabadikan momen perobekan bendera Belanda di Hotel Oranje. Ketika memotret momen itu, Abdul sempat ditahan oleh Belanda di dalam Hotel Oranje, yang menjadi markas Belanda setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia Kedua.
Namun, pada akhirnya Wahab berhasil dibebaskan. Ia kemudian pergi dari sudut-sudut Kota Surabaya. Memotret peristiwa demi peristiwa pertempuran yang terjadi di Kota Pahlawan tersebut.
Beberapa roll film yang memuat foto-foto di Hotel Oranje itu dia keringkan di rumahnya, lalu dia titipkan kepada ibunya. Kumpulan foto tersebut kini menjadi saksi bisu sejarah perjuangan rakyat Surabaya, pada pertumpahan darah para pahlawan di tanggal 10 November 1945. (Rizky Riawan – Lingkarjateng.id)