JAKARTA, Lingkarjateng.id – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan bahwa kebijakan penghapusbukuan dan penghapustagihan utang petani dan nelayan bertujuan untuk membantu agar masyarakat bisa kembali menerima kredit atau pinjaman.
Ia mengatakan bahwa masyarakat yang mengalami permasalahan pembayaran piutang atau kredit macet tercatat dalam database Kementerian Keuangan, sehingga mereka tidak dapat mengajukan pinjaman kembali maupun menikmati fasilitas perbankan lainnya.
“Nah, oleh karena itu ini, semacam ‘moratorium’ kepada mereka yang pernah bermasalah, sehingga dengan penghapusbukuan dan penghapustagihan ini diharapkan kredit untuk masyarakat bisa bergulir kembali,” ucap Airlangga Hartarto di Jakarta, Minggu (3/11).
Airlangga mengatakan bahwa kebijakan menghapus tagihan utang petani tersebut diimplementasikan terbatas kepada bank-bank BUMN atau Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) karena jumlah piutang yang tercatat dari kedua kelompok tersebut sudah terlampau besar.
Selain itu, bank-bank tersebut tidak bisa melakukan penghapusbukuan, meski bisa melakukan penghapustagihan, berbeda dengan bank-bank swasta.
“Jadi, (kebijakan) ini murni untuk mendukung Himbara karena jumlahnya (terkait utang kredit petani dan nelayan tersebut) sudah cukup besar. Mereka bisa hapus buku, tapi tidak bisa hapus tagih,” katanya.
Airlangga menyampaikan bahwa kini pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kebijakan penghapusbukuan dan penghapustagihan utang tersebut.
“(RPP) ini dalam proses. Jadi, mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama ini bisa diselesaikan,” ujarnya.
Presiden Prabowo Subianto berencana melakukan pemutihan atau penghapusan utang para petani yang masuk dalam skema Kredit Usaha Tani (KUT) pada 1998.
Sebelumnya, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyatakan bahwa utang tersebut sudah terlampau lama, yakni selama 26 tahun, dan dinilai memberatkan masyarakat karena bisa menghalangi mereka untuk mendapatkan kredit dari perbankan.
Ia mengungkapkan bahwa total nominal utang yang akan diputihkan sebesar Rp8,3 triliun untuk 6 juta petani di Indonesia, atau sekitar Rp1,3 juta per orang.
Menanggapi wacana tersebut, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) Sunarso mengatakan rencana kebijakan penghapusan utang/kredit macet untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) memang ditunggu oleh Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
“Sebenarnya kebijakan bahwa bank-bank BUMN boleh melakukan hapus tagih itu sudah ditunggu-tunggu (mengingat) selama ini tidak berani melakukan itu karena masih ada berbagai aturan yang bisa mengategorikan itu sebagai kerugian negara. Jadi, intinya bahwa kebijakan hapus tagih, terutama untuk UMKM, itu memang ditunggu oleh Himbara,” ucapnya dalam Konferensi Pers Kinerja Keuangan BRI Triwulan III-2024 yang dipantau secara virtual di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut dia, penetapan kriteria seperti apa yang bisa dihapus tagih dinilai paling penting untuk ditentukan agar tak menimbulkan moral hazard.
Sepanjang tak terjadi moral hazard, BRI disebut telah mengalkulasi perkiraan dampak terhadap kinerja keuangan BRI yang akan dimasukkan ke dalam perencanaan keuangan untuk tahun depan ketika kebijakan penghapusan tagihan utang petani ini diberlakukan.
“Sebenarnya yang paling penting dari kebijakan ini adalah pemutihan dari blacklist agar kalau orang-orang itu masih kuat, masih bisa berusaha, bisa punya akses pembiayaan, kemudian bisa berusaha lagi. Itu sebenarnya yang paling penting. Terus bagi banknya, dengan memberikan kesempatan itu, tidak dikategorikan kerugian negara,” ujar dia. “Itu yang paling penting sebenarnya, dan yang perlu dijaga adalah moral hazard. Jangan sampai terjadi moralhazard, dimanfaatkan oleh niat-niat yang tidak baik,” kata Sunarso. (Anta/Lingkarjateng.id)